Teste Teste Teste

Tarian Syafaat


Langit yang semula berwarna merah pelahan luntur hingga memutih. Awan-awan yang semula memisah, kini mulai tersebar dan berkumpul kembali menjadi kawanan domba yang mendamba kesejukan. Setelah sekian tahun menguap di padang gurun yang gersang kerontang. “Maya, engkaukah itu?” tanyaku berseru, mendongak ke atas. Di mana Maya? Tak kutemukan sebesit pun wajahnya di tengah-tengah gumpalan awan itu.
“Maya?”
Angin bertiup sepoi-sepoi. Memaksa rimbun pohon untuk bergoyang di lereng bukit. Kemarau memang telah berlalu, namun mata air di ujung jalan setapak menuju bukit belum juga mengucur. Ah, dahaga benar kurasa. Maya memang tak terlalu bodoh, ia tercipta untukku selama aku masih berada di bawah kolong langit ini. Mungkin ia bersembunyi, mengajakku bermain petak umpat. Namun, yang kulihat hanya patung-patung anak-anak kecil bersayap, mengitari pemakaman.
Anjing-anjing hutan yang turun dari atas bukit mengurungkan penyerbuan bagi rombongan pengantar jenasah. Yah, mereka lebih tahu. Mereka lebih merasa menjadi binatang terhina, terakus dan menjijikan. Setara dengan babi-babi yang selalu mengendus-endus kotoran yang keluar dari perut raja-raja kecil di setiap apartement atau perumahan elite.

Maya kau malaikat secantik bidadari yang kutemui di antara para bidadari yang berlenggok di surga-surga imitasi. Mereka tak bisa menyembunyikan taringnya kala bibirnya menebar senyum. Kau lebih ayu dan semilak, ketika air pegunungan itu menyiram. Kau tak perlu bedak! Sebab sudah kau taburkan syafaat setiap pagi. Inilah bidadari yang kukasihi, kepadanyalah aku selalu menyampaikan kekaguman semesta alam. Dia bukanlah utusan yang diturunkan ke dunia, tapi ia adalah bidadari, pelukis dari surga bagi domba-domba yang terpecah dari segala penjuru kolong langit.

Ah, mengertikah engkau tentang ini? Tentang kerinduan lelaki terhadap bidadari dari surga yang sekilas aku bisa melihatnya, tanpa mantera. Ia besyafaat setiap hari untukku. Ia menaruh sebatang lilin untuk kunyalakan, ketika giluta menggeliat, menyekapku dalam lorong-lorong waktu yang tak kuketahui ujungnya. “Sam, di mana kau?”
“Aku di sini menunggumu!”
“Apa kau melihat pemetik kecapi yang baru saja meniupkan bisikan di telingaku?”
“Siapa?”
“Seorang pangeran yang gagah.”
“Di mana kau kenal.”
“Dalam mimpi.”
“Ah kau bercanda.”
“Sumpah, langit dan bumi tak akan kupertaruhkan.”
“Lantas siapa pangeran yang kau cari?” jawabku seraya mendongak mencari di mana ia hinggap. Oh Amboi cantiknya. Maya turun menjadi kupu-kupu. Genit gemulai tangannya melukis gerak tari bayangannya di atas bunga matahari yang mulai menguning. “Di mana Sam? Tahu tidak?”
“Bukankah pangeran-pangeran itu terlalu angkuh? Sudikah engkau di suntingnya?”
“Kau salah Sam. Ia baru saja dinobatkan dan di angkat dari comberan pinggiran jalan.”
“Siapakah ia?”
“Seorang lelaki yang berjubah putih dengan mahkota daun nangka melingkar di kepalanya. Rambutnya sedikit ikal. Badannya tidak terlalu kekar.”

Aku tak bergeming sedikitpun. Tak ada sesuatu yang kudengar lagi. Sedangkan Maya sudah terburu-buru terbang mencari pangeran yang semalam ia impikan.

Langit terbuka. Merpati terbang berputar-putar di atasnya. Angin perlahan berdesir lembut. Cahaya nampak kemilau lebih terang dari matahari. “Inilah anakku yang kukasihi kepadanyalah aku berkenan 1.”
Suara asing kudengar. Kata-kata itu nyaris seperti yang diungkapkan para pendeta dalam kebaktian.
“Maya, kau kah itu?”
“Bukan, memang kau dengar apa Sam?”
“Ah, biasa,” jawabku sedikit menyembunyikan ketakutan yang maha dasyat.
Pergilah ke telaga! Aku tunggu kau di sana. Mari kita tengok tubuh-tubuh yang telanjang membersihkan dirinya dari segala macam debu. Mereka adalah perantau. Salah satu dari perantau itu adalah pangeran yang sekarang kucari. Di mana dia?”
“Maya tidakkah kau lupa sering bersyafaat bagiku? Apakah kau dengan seenaknya bersyafaat bagi orang lain? Malaikat, setan, dan segala mahkluk yang belum sama sekali pernah kulihat?” teriakku.

Matahari perlahan merambat ke ufuk barat. Menggeser langit biru hingga kembali memerah. Aku merasa kehilangan Maya. Aku harus bertemu dengannya sebelum matahari bersembunyi di balik gunung. Sebelum tak kulihat lagi kepak sayapnya terbang mengitariku kala aku berteduh di sebuah taman. Maya pernah memberikan tanda salib di keningku. Namun tanda itu musnah tersapu angin, air dan debu-debu yang setiap hari melintas menjadi serigala rakus yang menerkam mangsanya.
“Maya, kau tahu, aku ingin mencarinya bukan?” keluhku.

Aha, lihatlah, wajah Maya berseri-seri, terbang mengitari taman bunga. Kecantikan yang maha dasyat, sapuan kepak sayapnya tak menutupi semilak wajah ayunya, tanpa make up atau cat rambut. Namun barisan bunga yang merekah menangisi kepergiannya. Tangisnya menderu seperti mesin godam penghancur bumi. Karena Maya mulai patah arang, enggan lagi mencari pengeran itu, dan tentu saja juga enggan turun lagi ke bumi.

Anak-anak kecil berlari melambat di antara gumpalan-gumpalan awan dan domba-domba putih. Di tengah pintu langit yang terbuka sore itu, mereka melambai-lambaikan tangannya. Sedangkan Maya semakin bingung, di mana ia bisa menemukan pangeran itu.
“Maya? Kau tak jadi mencarinya di telaga?”
”Mustahil, telaga dan mata air mengering.”
”Oh, iya, siapa tahu ia sedang menuai padi yang menguning sore ini?”
“ya Tuhan, ampunilah!”

Dia berada di sawah-sawah. Sedari pagi sepertinya aku melihat ia mengenakan jubah dan bermahkotakan jerami-jerami dan daun nangka. Ia menenteng kecapi sembari melantunkan Mazmur. Bisakah aku ikut mencarinya? Lihat! para malaikat kecil sudah memanggilnya. Domba-domba yang pulang telah menunggunya. Lihat, langit juga menguning. Bukankah ia terlambat kau panggil pulang? Kau akan tenggelam di lautan jerami. Sayapmu pasti akan robek tersayat tanduk-tanduk belalang.
“Ah tanduk belalang terlalu lunak bagiku,” jawab Maya. Panji dan gada telah kupinjam darinya. Tapi aku harus mengajaknya pulang. Sebab ladang telah menguning. Biarlah ia memetik berkarung-karung buah-buah surga, lantas mengangkutnya. Membagikannya sambil melantunkan nyanyian-nyanyian Daud.
“Maya, cepat kau panggil dia! Aku ikut!” seruku.
Aku mengejar Maya yang terbang menyusuri jalanan setapak. Aku lihat ia nampak lebih cantik dari biasanya. Ia tinggalkan jaring-jaring syafaat ke arah mukaku. Jaring-jaring bercahaya, tak panas dan tak silau. O, jaring-jaring manusia yang dasyat diturunkan di bumi untuk menjemput para pengabdi surga. Menjadi pewaris tunggal yang abadi. Sedangkan leher pangeran itu berkalungkan kecapi. Tak sedikit pun sisa comberan di muka, tubuh dan setiap lekuk tubuhnya. Ia masih mengenakan jubah putih itu. Nampak melebihi raja-raja yang berkuasa dan bertahta di atas bumi. Yah ialah pangeran yang segera dinobatkan, tanpa ijasah dan tinta-tinta palsu.

Aku lihat ladang telah habis tertuai. Pangeran itu terbang dengan kepak sayapnya. Lantas Maya terbang melesat menuju ribuan malaikat kecil berjubah putih yang memanggilnya dari pintu langit.
Oh, langit terbuka, malaikat-malaikat kecil bersorak sorai, tepuk tangannnya riuh terdengar hingga menggoncangkan pondasi-pondasi angkuh barisan istana para setan di segala zaman. Yah, aku harus menyusulnya. Waktunya telah tiba, aku harus kembali menebar benih-benih di ladang itu. Sebab padi cepat kali menguning. Hari sudah menjelang malam. Aku harus kembali istirahat. Pagi kita bekerja lagi. Membajak ladang yang sempit namun subur, sebab semua telah menjadi menara dan berhala bertopeng sangar. Tak ada lagi waktu untuk menangis, merenung dan bermalas-malasan.

Langit kembali tertutup. Sorak-sorai malaikat masih terdengar bergemuruh, menyisakan senyuman tulus dari pilu dan peluh yang menetes. Ufuk barat masih menyisakan sedikit cahaya. Maya dan pangeran itu hanya nampak bayang-bayangnya, kala matahari yang beranjak pulang menyiramkan jingga. Mereka melambaikan tangan kepadaku.
Solo, Juni 2007

Teruntuk Eko Nugroho, salamku kepada Bapa…

0 Response to "Tarian Syafaat"

Post a Comment

wdcfawqafwef