Sebenarnya aku malas
menuliskan surat ini. Tapi apa boleh buat, email, akun facebook, dan akun
twiterku dibobol seseorang yang tak kutahu entah siapa. Berkali-kali pula aku
membuat email baru, facebook baru, dan twitter baru, tapi ada saja yang iseng.
Berapa password kuubah, hingga aku lupa sendiri, hingga aku bosan sendiri……
Aku perlu mengantar surat ini melaui seorang supir angkot
langgananku. Aku harus bersembunyi dan melihatnya dari kaca spion dan
memastikan bahwa surat itu sudah diterima. Rumah kontrakan itu tertutup rapat
gerbangnya. Ia membuka dengan kening berkerenyit, mungkin heran, mungkin curiga
ketika seseorang mengantarkan surat itu. tak biasanya itu diterima.
Aku menulis surat itu di atas tanggul jalan tol. Ketika
malam kian beranjak. Sengaja aku menuliskan ini seraya sesekali memandang
pijaran merkuri yang kekuning-kuningan serta kerlap-kerlip lampu kota, rumah,
dan kendaraan yang berseliweran. Sembari kuhisap asap dari berbatang-batang
sigaret rasa mint menthol, serta manis
kental-pahitnya secangkir kapucino instan.
Sudah berapa lembar kertas kosong aku sobek, kubuang
begitu saja. Lalu menulis lagi. Aku sobek lagi. Aku buang lagi. Hingga tinggal
selembar kertas. Aku memang harus mempertimbangkan kata-kata yang hendak aku
tulis. Tiba-tiba saja aku sedikit puitis.
Malam ini juga, aku memang
memutuskan untuk mengaku di hadapanmu. Bahwa selama ini aku tidak mencintaimu,
seperti yang kau kira sebelumnya. Berat memang aku mengatakannya. Aku tidak mencintaimu,
Mas!
Kalau toh kita nekat
memutuskan untuk kita menikah, kau tak mungkin bahagia. Aku pikir cukuplah, kau
mereguk manis madu cinta dariku. Cinta yang sebenarnya terlalu sembarangan
untuk ku ucapkan, kau ucapkan, dan yang mereka ucapkan bak ungkapan cinta
Fitri, Si Sri, atau apalah. Cinta bagiku sangat misterius, aneh. Karena cinta,
seseorang bisa nekat membunuh. Karena cinta, remaja rela terjun bebas dari atap
mal. Karena cinta, ia rela menjadi perempuan terbodoh. Makanya aku terlalu
risih dengan kata cinta. Apalagi mengatakannya padamu. Toh selama ini, kau tak
pernah menyatakan cinta. Demikian pula aku.Tapi apa boleh buat, aku harus
mengatakannya kepadamu.
Mengapa kau mencintaiku? Aku
tak modis. Aku tak suka pakai hotpant yang mengumbar paha ke sana-ke mari
seraya menaiki sepeda motor matic? Aku tak suka minyak wangi, bedak, luluran,
facial, krimbat, catok, rebonding, atau apalah sejenis perawatan yang membuatku
merasa menjadi boneka.
Lelaki yang aku kirimi surat itu namanya Darto Baskoro,
tapi lebih akrab dipanggil Darto Gondhel. Mungkin karena memegang erat jimat
atau pusaka yang tersimpan di dalam perutnya, orang menyebutnya Darto Gondhel.
Dialah sosok yang paling ditakuti di antara gank, dan
ormas-ormas pemuda. Dialah yang menguasai keamanan selain polisi untuk lahan
parkir pasar, toko, diskotik, kios arak, tuak, ciu, lapen, bir, black dan red label selundupan, dan
mal. Jika kau dikompas, atau dihadang seseorang di kota ini, katakanlah kalau
kau ini anak buah Gondhel. Niscaya, mereka akan keder.
Makanya sekarang harusnya lelaki yang ingin selamat dari
keberingasan perampok waktu itu, harus punya tato bertuliskan G.D.L dengan
latar belakang gambar tengkorak. Atau jika kau berpapasan dengan razia petugas,
perlihatkanlah tato huruf G.D.L di lenganmu, pasti kau dipersilakan untuk
melanjutkan perjalanan. Dengan tato itu, kau akan berkuasa. Kau bisa memukul
siapa saja. Kau bisa membunuh siapa saja yang dianggap bersalah, sesat, atau
pemuja setan.
“Sumbi, kau mesti keluar kota!” seru Gendut.
“Atau pergilah ke tempat terpencil!” sahut Raga.
“Pria itu mencarimu!” teriak Han.
“Sudahlah, urus dirimu sendiri! Lakukan pekerjaanmu
cepat!!!” sahutku seraya menyuruh mereka segera menghilangkan tato huruf G.D.L
di lenganku. Kabel setrika pun sudah menancap. Lampu tanda memanas mulai
menyala. Tak lama lagi, telapak panas itu segera menempel di lenganku hingga
melepuh, menjadi koreng, lalu mengelupas. Lenyap sudah gambar dan tulisan itu.
Tak harus pakai laser. Aku tak punya cukup uang untuk membelinya. Kalau pun
punya uang, tak ada satu pun rumah sakit di kota ini memilikinya. Toh, semua
hanya untuk menghapus jejak Gondhel di tubuhku.
Jujur saja, dulu aku mengaguminya lantaran ia sosok
lelaki dewasa yang pemberani. Aku butuh pelindung karena ayahku terpanggang saat
seserang tak dikenalnya menyuruhnya untuk menjarah pertokoan kala kota Bengawan
membara. Di rumah, kami hanya berdua. Aku dan ibuku. Tak ada lelaki di rumah
kami.
Ibu mengandalkan nafkah hanya dari membuka salon
kecil-kecilan. Tak jarang para pemabuk datang ke rumah kami tanpa permisi.
Mereka tak juga kapok. Padahal tak segan-segan Mama mengacungkan gunting potong
jika ada yang mulai berani menyentuh kami. Bahkan pernah ada seorang preman
kampung kami yang terpaksa dilarikan ke rumah sakit gara-gara lehernya tergores
ujung gunting salon oleh Mama.
Sejak kejadian itu, kami takut terancam. Lantas aku mau
saja ketika jawara kota ini mulai mendekatiku. Tapi sekarang, jangankan
melihatnya, mendengarnya saja aku muak, dan ingin muntah-muntah. Aku semakin jijik
jika mengingat dengus nafas alkoholnya, penguk keringatnya, serta codet bekas
luka bacokan di pipi kanannya yang hampir setiap malam menempel di pipiku.
Baiklah, mungkin jika ia nekat memburuku, aku akan
melayaninya.
“Sumbi, dia datang!” seru Mama seraya gemetaran tubuhnya
kala sebuah mobil sedan hitam mengkilap berhenti di depan rumah. Kemudian
terdengar derap langkah setelah pintu mobil terdengar ditutup dengan cara
kasar. Tak lama lelaki yang mencariku itu tiba di depan pintu.
“Sumbi, aku bukanlah lelaki brengsek yang kau pikir! Aku
memang bajingan, tapi aku mencintaimu!”
“Sudah berapa nyawa hilang sia-sia karena kamu?”
“Tolonglah Sumbi!”
Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari balik pintu pintu
kamar. Rupanya ada seseorang di dalamnya. Tubuh Gondhel roboh. Orang itu
menghilang.
Sejak itu, orang-orang dengan tato lengan bertuliskan
G.D.L ditemukan tak bernyawa. Sepertinya akan ada pembersihan kelompok yang
dipimpin oleh Gondhel. Sejak itulah, diam-diam aku melayani jasa menghapus tato
itu. Tentu dengan cara kasar dan mahal ongkosnya. Aku setrika lengannya.
Perlahan tapi pasti, hingga mereka berteriak meradang seraya mengucapkan
sumpah, hingga huruf itu hilang. Selebihnya, orang-orang itu lenyap entah ke
mana? Tapi polisi kadung menangkapku. Lalu menyuruhku untuk berganti nama baru,
dengan identitas baru, dan ke kota yang baru. Status identitas lama, dinyatakan
telah tewas.
Solo, Februari 2011
(Koran Merapi, Minggu
13 Maret 2011)
0 Response to "Surat Terakhir"
Post a Comment