Cerpen Abednego Afriadi (Minggu Pagi, 1 Juni 2012)
Petiklah gitar itu Ayah, biar aku bisa pulas dalam dekapan mimpi. Biarkanlah
rasa letih ini menguap lewat nada-nada yang manis kudengar. Nada-nada yang akan
berhembus menembus celah-celah ventilasi dan jendela kamar yang lupa ku tutup
malam ini. Anakmu ini telah kehabisan lirik lagu untuk dinyanyikan. Karena
malam-malam yang aku lewati sekarang ini adalah berlembar-lembar lirik lagu dan
nada-nada yang itu-itu saja.
Seandainya aku bisa mengembalikan putaran bumi, aku akan membuang setiap
malam yang pengap. Seandainya aku bisa menentukan dari rahim siapa aku
dilahirkan, aku akan memilih dilahirkan dari rahim seorang istri menteri,
pengusaha, presiden, politikus, pengacara, hakim, jaksa, polisi, atau dari
seorang artis yang nyambi jadi politikus. Atau setidaknya lahir dari seorang istri
seniman elit, bukan dari istri seorang seniman jalanan seperti ibuku. Meskipun
suara ayah merdu. Meskipun setiap petikan jemari di dawai gitarnya manis
didengar.
Petiklah gitar itu Ayah, walau dawai terbawah telah putus. Aku yakin engkau
pasti bisa memainkan kunci-kunci dari jemarimu sehingga tak terdengar sumbang.
Kalau pun gitar itu rusak, setidaknya bisa kau lantunkan nada-nada indah nan
lembut hingga aku tertidur, lalu kau mengusap-usap rambutku ketika kepala ini
singgah di pangkuanmu. Seperti ketika kereta Pramex mengantarkan kita pulang
dari keramaian kaki lima di Malioboro.
Nyanyikanlah lagu itu Ayah! Lagu apa saja, yang penting aku tertidur pulas.
Lagu tentang seorang biduan, tentang nasihat-nasihat bijak dari seorang
penyanyi balada, tentang kebesaran Tuhan, tentang malam yang diselimuti kesunyian,
tentang lilin yang tak pernah kehilangan api, atau tentang salju yang
meredupkan sisa-sisa kemarahan sekarang atau yang sudah-sudah.
Tahu kah kau Ayah? Semalam aku memimpikanmu. Dari seorang pengarang cerita,
aku ingin belajar menceritakannya dengan caraku. Jika ayah bisa membaca, akan
kau temukan kata-kata yang aku ukir setengah mendayu. Maklumlah, Ayah,
teman-temanku itu mahasiswa sastra dan penulis yang sering memenangi sayembara.
Ada Mas Yudi, Mbak Sani, Mbak Indah, Om Efendi, dan Mbak Puitri. Seandainya
ayah sanggup melihat, pasti akan Ayah rasakan bersahajanya tulisan-tulisan
mereka. Bahkan bisa mengenalnya. Dulu mereka sempat mengajari aku merangkai
kata-kata sewaktu yayasan tempat dulu kakek bekerja membuka kelas menulis
gratis.
***
Setelah pemabuk itu dipaksa pulang oleh petugas keamanan kafe, aku sudah
tak tahan lagi untuk rebah di kasur kamar rumah kita. Kelopak mata ini
sepertinya terlalu rekat terpejam. Bayangkan Ayah, baru subuh kami selesai menghibur
orang-orang bingung. Bingung, kemana uang akan dihambur-hamburkan. Bingung
melepas kepenatan, keakutan, dan kekhawatiran. Mereka tidak mau datang ke
psikiater, konseling ke gereja, atau mengajak curhat seorang santri yang masih
muda dan gaul. Mereka lebih memilih suaraku di Kafe Biru, tempat di mana aku
menyanyi di antara asap-asap pekat yang dihisap, dan minuman memabukkan yang disulang,
direguk, lalu dimuntahkan ketika lambung mereka menolak buih-buihnya.
Ayah, malam ini tubuhku letih. Seketika itu terpejam, tanpa awalan doa yang
biasa kau ajarkan sejak aku masih kanak-kanak. Ayah, datanglah kepadaku malam
ini. Biar aku terlelap dan bermimpi bersamamu.
***
“Siapa lelaki yang mengantarmu?”
“Teman satu band.”
“Ayah tak percaya.”
“Mengapa Ayah selalu tak percaya?”
“Kau seperti ibumu.”
“Mengapa ayah menyamakanku dengan ibu?”
“Ibumu juga penyanyi. Seperti kamu, pulang terlalu larut malam. Apa saja
yang kalian lakukan?”
Hanya itu mimpiku Ayah. Ingin rasanya aku meneruskannya dan berharap kau
juga memimpikan hal sama. Tapi aku tak sanggup dan tak mungkin. Semoga saja
ritualku membalik bantal setelah terjaga menjadi cara yang manjur untuk
meneruskan mimpi itu. karena dikehidupan nyata, aku tak mungkin menjalani
pertemuan itu. Pertemuan yang menjelaskan serangkaian sebab akibat ayah
membenci ibu.
Ketika aku tak begitu lelah, ketika show
di kafe libur karena disweeping ormas, aku memilih mengingatmu Ayah. Mengingat
ketika kita tiba di Malioboro. Aku tuntun engkau. Kupegang tanganmu yang kurus
sembari menggendong gitar akustik menuju orang-orang yang duduk menikmati
santapan di kaki lima. Aku tuntun pula engkau menerobos jubalan turis yang
hendak membeli cindera mata.
Masih ingatkah Ayah, ada seorang yang iba, lantas memberi kita selembar
uang seratus ribu rupiah? Masih ingatkah Ayah? Saat kita ketinggalan kereta
terakhir dan memilih tidur di Stasiun Tugu, menunggu kereta pertama pagi harinya?
Masih ingatkah Ayah? Ada seroang menteri yang kebetulan sedang makan di warung
kuno, lalu menyeramahi kita, bahwa memberikan secara langsung uang kepada kita
sama halnya mendidik kita untuk menjadi pemalas. Katanya harus lewat yayasan,
dinas terkait, atau melalui kegiatan keagamaan? Masih ingatkah Ayah? Sepasang
mahasiswa meminta Ayah menyanyi berkali-kali karena kagum dengan suara Ayah?
Masih ingatkah Ayah? Ketika seseorang dengan wajah sinis mengatakan jika kita
menjual mata Ayah yang buta itu untuk mencari belas kasihan? Ah, seandainya
Ayah bisa melihat.
***
“Kau tadi minum ya?”
“Tidak!” jawabku. Mengapa ayah tahu? Setajam itukah penciumannya?
“Ayah memang tak bisa melihat lagi, tapi Ayah mencium alkohol, bahkan aroma
tubuh lelaki lain yang merekat di tubuh ibumu. Seperti saat malam jahanam itu
tiba.”
Aku terdiam. Karena itukah ayah selalu menaruh curiga jika aku pulang
terlalu malam?
Aku teringat peristiwa malam sewaktu aku masih kecil. Aku terbangun tengah
malam saat deru kenalpot mobil modifikasi maraung-raung di depan rumah. Dari
balik jendela kamar aku lihat mobil hitam ceper itu lama berhenti dan
bergoyang-goyang, lalu terbuka pintunya. Dari dalam keluarlah ibu dengan tubuh
terhuyung, dengan masih mengenakan pakaian show, tanktop, rok
yang kelewat pendek berwarna ungu. Rambutnya yang lurus panjang nampak
acak-acakan. Pintu mobil itu kembali ditutup dari dalam, entahlah siapa orang
itu? Kaca mobilnya sangat gelap. Sepertinya ayah sudah menunggunya di ruang
tamu. Tak lama teriakan demi teriakan terdengar sahut menyahut, meja digebrak,
pintu ditutup dengan cara kasar, dibanting menyusul suara gaduh yang lain.
“Sebenarnya aku juga tak ingin menjadi buta!!!”
“Semua sudah terlanjur!! Dulu sewaktu kau bisa normal melihat, kau
seenaknya saja tidak pulang ke rumah setelah show. Matamu jelalatan
menjamah tubuh teman-temanmu di kafe, belum perempuan lain yang entah siapa
lah?”
Ku dengar ayah menangis. “Oh, kau masih mengungkitnya? Bukankah kita
sepakat untuk melupakan, dan memaafkan kesalahanku? Perlu kau tahu, aku pun
tidak bangga dengan kebrengsekan lamaku. Aku pun sudah cukup menyesal.”
“Sebenarnya aku tak ingin menyalahkanmu! Aku pun siap menjalani ini tanpa
mengeluh. Kau saja yang tak paham kalau selama ini aku pun berusaha memahami
keadaan, dengan segala risiko.”
“Risiko melacur?”
Plak. Kudengar suara tamparan. Entah tangan siapa yang menampar, dan pipi siapa
yang ditampar. Selebihnya sunyi. Ibu keluar dari rumah. Sedangkan ayah menangis
di ruang tamu di rumah yang sebentar lagi dilelang karena hutang bank sudah tak
sanggup lagi diangsur. Katanya habis untuk operasi kornea mata ayah yang sudah
tidak berfungsi lagi. Sebenarnya diputuskan operasi mencangkok mata, tapi tensi
ayah naik. Dokter tidak mau berspekulasi menanganinya. Sejak pertengkaran malam
itu, aku tak pernah bertemu dengan ibu. Entahlah, ke mana ibu pergi? Mungkin
sekarang sudah menikah dengan lelaki lain. Hingga sekarang, wajahnya pun aku
sudah sedikit lupa, kecuali usai menatap fotonya di album keluarga.
Hingga kini tak kuketahui, kenapa ayah buta? Kata nenek karena karma. Kata
kakek disantet suami perempuan yang pernah diajaknya menginap di hotel. Kata
salah seorang tetanggaku di kampung, ayah kuwalat dengan seorang tetangga yang
buta. Entahlah, apapun yang membuat ayah buta, aku akan tetap merindukannya.
Aku merindukan suara alto ayah ketika misa malam Natal di gereja. Kata Romo
Frans, ayah cukup aktif di kelompok paduan suara. Dari paduan suara itulah,
ayah bertemu dengan ibu. Mereka semakin akrab, saling mencintai, kemudian
pacaran, kemudian lagi menikah hingga lahirlah aku.
Kata Romo, ayah dulu menjadi penyanyi terkenal di kotaku. Jenis musik apa
saja bisa dilantunkan dengan indah. Baik itu blues, pop, rock ballads,
keroncong, maupun dangdut. Banyak pejabat mengundangnya. Banyak para calon
gubernur, walikota, dan wakil rakyat mengundangnya untuk meramaikan kampanye.
Bahkan rencana ayah akan rekaman album perdananya. Tapi belum sempat rekaman,
penglihatan ayah semakin berkurang.
Entahlah di mana sekarang ayah? Aku tak melihatnya lagi sejak aku pulang
dalam keadaan mabuk. Mungkin ayah kecewa kepadaku yang pada akhirnya sering
menenggak alkohol, dan ketagihan rokok. Belum lagi sempat pula aku kenalkan pacarku
yang bertato gambar spiderman di sebelah kanan mukanya. Pulanglah Ayah!
Petiklah gitar itu. meski dawainya putus satu. Mungkin kah kau kembali memulai
hidup di sepanjang Malioboro? Solo, November 2011
0 Response to "Petiklah Gitar itu Ayah"
Post a Comment