Kejora
Orang bilang namaku pantas untuk nama seorang wanita. Gerak
tubuhku katanya gemulai, juga logatku. Rambutku panjang, hitam, lembut, juga
sorot mataku. Katanya genit. Apalagi bulu mataku cukup lentik. Tapi siapa tahu
cerita yang bersambung setiap malam dalam mimpiku, ketika orang-orang terlelap
oleh hembusan angin malam?
Aku tidak pernah kursus atau sekolah tari. Tapi aku
sering diajak menari. Aku juga tak pernah ikut seminar kecantikan, tapi salon
yang kubuka laris manis. Banyak pejabat, artis, anak pejabat, pengusaha, dan
tokoh masyarakat beken sering memesan jasaku. Konon aku lihai memoles gaya
tradisi menjadi tidak terkesan kedaerahan, apalagi kampungan. Salah satu perias
ternama di negeri ini pernah memujiku, meski pada akhirnya tersenyum sinis.
Mungkin karena takut tersaingi.
Tapi apakah mereka tahu mimpiku? Aku akan menceritakannya
padamu. Suatu malam, merkuri yang berpendar memancarkan berbuncah-buncah cahaya
kekuningan. Butir-butir hujan serupa kristal rasa orange
yang melupakan awan. Tak mungkin naik kembali ke atas. Perempuan itu, Mayna
namanya, berdiri terpaku seraya berlindung di balik payung rusak berwarna merah
jambu.
Apa yang dilakukan malam ini percuma. Sebab, ia tetaplah
basah. Katanya kepadaku, “Biar tak ada tukang ojek, becak, taksi yang memaksaku
menumpang. Aku hanya menunggumu supaya kau hantarkan aku.”
“Kau tak punya uang?” tanyaku. Mayna menggeleng.
“Lalu?”
“Kemarilah!”
Aku menghampirinya. Sejenak kupandang satu persatu dari
kepala sampai ujung sepatu. Basah semua. Aku paksa ia masuk ke salon, kusuruh
ia mandi, lalu kupinjami celana dan kaos. Maaf, mungkin hanya bra dan celana dalam sepertimu yang tak kupunya. Jadi
apa boleh buat?
Kami bersama-sama menyeruput hangat, manis, dan kentalnya
kopi susu seduhanku. Salon aku tutup karena sudah kelewat malam. Apalagi
salonku ini dikelilingi semacam police line bertuliskan, kegiatan dalam salon ini sedang dalam pengawasan pemerintah kota.
Aku sih tak menghiraukannya. Tak sedikitpun takut. Bukankah orang wajib takut
karena salah? Orang takut karena sudah tahu salah, tapi tetap melakukannya.
Salon hanya aku pakai untuk potong rambut, cuci muka, krimbat, dan rias
pengantin tradisional maupun modern. Bukan untuk scrab
atau pun lulur untuk laki-laki iseng. Bukannya munafik, tak ada aktivitas lebih
dari itu.
Malam itu salonku benar-benar seperti syair lagu yang
sering dinyanyikan ketika Natal tiba. Begitu sunyi, senyap. Romantisme hujan
sepertinya membuat jalan raya begitu lengang. Padahal ini bulan Juni.
Usai hujan. Usai hangat tubuhnya, Mayna berpamitan
kepadaku. Entah, ke mana dia tak mengatakannya. Kakinya juga menapak. Jadi
penglihatanku normal, tidak ada peristiwa mistis murahan malam ini. Malam Jumat
Kliwon.
Mayna, gadis cantik berkulit putih itu kukenal sejak
lama. Sejak mimpi-mimpi itu aku mulai. Setiap kali usai bertemu dengannya, aku
selalu mencubit lengan hingga membekas. Supaya aku merasakan kenyataan itu.
Bukan mimpi, dan tetap terekam dalam otakku.
***
Mimpi
Kejora, namamu aneh. Mungkin ketika kau lahir, kemarau
mengembuskan angin yang menjelma jarum-jarum jam yang menusuki tulang
manusia-manusia malam. Lalu ibumu menatap bintang kejora, kemudian dalam setiap
lagu-lagu ia memetiknya untukmu. Dimasukkannya bintang itu ke dalam perutnya
yang buncit, lalu menembus hingga menerangimu dalam setiap kegelapan rahim
karena luka, duka, dan dendam yang membara. Karena tak ada yang mengakui siapa
ayahmu. Tinggal menanamnya dengan erangan, dan dengus berahi ketika malam
hingga tubuh ayahmu berpeluh, beraromakan sigaret dan alkohol murahan.
Ibumu berkulit sawo matang. Juga ayahmu (kali ini tak
kusebut karena khawatir kau akan memanggil reality show untuk
memergokinya. Apalagi orang itu adalah pejabat strategis yang membutuhkan pamor
saat ini. Lawan politiknya begitu kuat, banyak data-data hitam yang mencatat
namanya. Tapi ayahmu masih ditakuti. Banyak prajurit-prajurit berkepala ular
dan anjing yang mengawalnya, bahkan tak segan-segan membunuh diam-diam, dengan
cara yang sangat rapi. Tanpa jejak). Kau putih. Rupanya sinar bintang itu ikut
juga memberimu gen kilaunya. Tanpa lotion atau perawatan khusus dari salon.
Kejora, hanya aku yang tahu tentang keinginanmu. Tentang
pikiranmu yang rumit. Aku mereka-reka lalu mengintrepetasikannya ke dalam
sebuah cerita. Semua demi tidurmu. Aku ingin kau tersenyum damai ketika matamu
terutup, dan nafasmu berembus teratur. Otakmu terlalu rumit. Jalan pikirmu
telah menjelma tali simpul mati. Tapi kau tak usah khawatir. Aku tak akan
membiarkanmu sengsara. Aku tak akan memotong kisah pertemuanmu dengan Mayna.
Ketika pagi, Mayna memang harus aku bawa pulang. Dia sudah terlalu capek. Maka
bangunlah! Mayna sudah seperti anakku. Sebab, dialah yang aku lahirkan
sendirian. Seperti ibumu melahirkan kamu. Tanpa ayah. Sebenarnya kau bisa
memanggilnya, ia pasti Mayna lain yang datang. Bukan Mayna yang kuutus. Dan
pikiranmu semakin rumit dibuatnya. Mayna yang kau paksa datang tidak akan
konsisten. Ia bisa tiba-tiba memaksamu untuk mati. Aku tahu itu.
Kejora, banyak laki-laki yang ingin kau pacari. Tapi
perlu kau tahu, aku akan memperingatkanmu melalui mimpi. Semoga kau percaya
karena tidak semua orang diberi mimpi peringatan, laiknya penafsir mimpi
termasyur seperti Baltzazar, dan Yusuf yang begitu elok rupanya.
Malam kedua setelah mimpi-mimpi itu
Bermimpilah dengan yang lain. Mayna terlalu letih.
Semalam ia baru saja menjadi TKW di Malaysia. Ia disiksa, hampir saja diperkosa
majikannya. Untung buru-buru aku ambil. Aku tak percaya lagi dengan pelindung
hukumnya. Maka mimpilah yang lain!!
***
“Kau bukan Tuhan.”
“Benar.”
“Mengapa kau paksa aku?”
“Aku berkuasa atas otakmu, pikiranmu, dan khayalanmu yang
terdalam. Akulah penyelidik yang diutus Tuhan. Jadi tidak ada masalah. Aku
bukan nabi, apalagi tuhan baru. Aku tak mungkin tega jika kau dituduh
penyesat.”
“Aku ingin Mayna.”
“Tidak!”
“Aku tembak kamu!”
“Jika aku mati. Kau akan sengsara. Kau akan jadi robot
yang tak bisa menikmati sisi manusia sewajarnya.”
“Mimpi, apa tidak ada cara lain?”
“Tidak!”
“Carilah!”
“Tidak!”
“Mengapa?”
“Tuhan tidak mengizinkan.”
“Tuhan yang mana? Sekarang manusia mudah menjadi Tuhan.
Aku juga bisa menciptakan Tuhan dalam pikiranku.”
“Penyesat! Diamlah kau!”
Kejora hanya bisa meronta-ronta. Malam itu, sprei basah
oleh peluh-peluhnya. Sebelum akhirnya sunyi lagi. Kejora masuk ke dalam telaga
seribu satu cerita. Telaga yang sudah ada sebelum aku ada. Juga kau.
Mayna
Akan ada pesta malam ini. Seorang anak pejabat menikahi
artis muda nan cantk. Pasti kau kenal, tapi dia tak mengenal kau. Aku
mengenalnya. Dia sering curhat kepadaku. Bahkan, ketika bicara tentang anak
pengusaha itu. Baginya, penilaianku lebih jujur, bukan dari dirinya sendiri.
Semula undangannya membuatku minder. Orang seperti dia
terlalu cantik. Aku tak pantas jadi temannya. Aku bisa bayangkan, dandanan
orang kaya seperti dia pasti membuatku nampak lebih buruk, kampungan, bahkan
ketinggalan zaman. Aku ingin, biar Kejora saja yang meriasku. Aku bukan
siapa-siapa, tapi dia butuh aku untuk masuk ke dalam pikirannya.
“Sini, Mayna!” suruhnya dengan nada lembut. Aku pun mau
masuk ke ruang tata rias. Rupanya sejam lalu, Kejora meriasnya. Pantas, wangi
kembang pengantin masih tersisa harumnya. Aku pun berharap, wanginya menjadi
virus kecantikan yang menulariku, merasuk ke dalam pori-pori, aliran darah,
detak jantung, hembusan nafas, serta kebahagiaan malam pertama. Aku akan ikut
merasakannya, menikmatinya, meski aku terdiam dalam sepi yang membunuh.
Aku bukan siapa-siapa. Tapi artis itu, dan Kejora lebih
memilih aku. Mungkin selama ini aku yang mengendorkan saraf-saraf mereka.
Melindungi dari segala macam keletihan, dan kepenatan.
“Kau perlu luluran!”
Karena itu aku tersanjung. Kejora sangat memerhatikanku.
Kubiarkan saja lembut tangannya mengusapku dengan ramuan-ramuan kecantikan. Aku
lihat di kaca salon. Tubuhku nampak lebih bersih, mengkilap. Lantas ia merias
wajahku, juga sanggul. Kebaya dikenakannya padaku. Hingga di depan kaca, aku
nampaklah bukan aku. Tapi orang lain yang diciptakan Kejora kepadaku. Hingga
usai pulang dari resepsi aku rasakan letih yang teramat sangat. Tapi, mata ini
terkunci.
Subuh tiba. Aku terjaga, lalu keluar dari jendela,
membiarkan Kejora lelap memeluk guling, tidur menyamping. Dikiranya aku masih
di sampingnya. Dan perlu aku beritahu, bahwa Kejora adalah pria sejati. Bukan
seperti yang kalian kira!
Mungkin aku harus segera lenyap. Matahari pagi sekarang
sepanas siang sepuluh tahun lalu. Mataku akan kesilauan. Bisa jadi terbakar
seperti vampir atau Dracula yang katanya alergi bersama dengan matahari.
***
Sebentar lagi, kalian akan tahu. Perutku buncit, aku
mengandung anak Kejora. Diam-diam kami sering bercinta. Yah, jika lahir nanti
ia akan hidup dalam dua dunia. Mimpi dan kenyataan yang pahit. Semoga anakku
bukanlah manusia yang hidup dalam mimpi. Meskipun mimpi menjadikannya pemenang,
pula mengecewakan. Karena aku hanyalah mimpi.
01.40 Wib
Solo-Semarang-Jogja, 30 April 2010
(Sinar Harapan, edisi
Sabtu-Minggu, 21-22 Mei 2011)
0 Response to "Kisah Mimpi Kejora"
Post a Comment