Dada
ini tidak bergemuruh. Apalagi sedu tangis ratap. Jalan setapak yang kulalui ini
begitu sunyi. Kira-kira seratus langkah lagi, aku tiba di sebuah telaga yang
airnya memantulkan vibrasi nyanyian bidadari.
Sorot
sepasang mata teduh itu mengisapku perlahan. Ringan tubuhku menyelusup ke
labirin kedalaman matanya, hingga aku terjaga di antara semak-semak hijau dan
kebun bunga yang dihiasi kupu-kupu berwarna-warni. Sepasang burung dengan bulu
warna-warni pula dan berparuh emas membangunkanku dengan kicauan dan sayapnya
yang menerbangkan tubuhnya, berputar-putar tepat di depan mukaku. Aku menggeliat.
Belum pernah aku sebebas ini. Aku berjalan menyusuri jalan itu, jalan setapak
yang dilewati anak-anak kecil bersayap putih,dan bermahkotakan daun.
Dari
kejahuan, di setapak jalan yang membelah perbukitan rumput, ribuan anak-anak
berjubahkan kain putih itu berlari riang seraya mengacung-acungkan tongkat
kecil bertaburan titik-titik cahaya, mengingatkanku tentang sosok Nirmala nan
jelita.
Ribuan
anak dengan warna kulit yang berbeda, entah dari bangsa mana saja, berlarian
mendekatiku. Semakin jelaslah wajah-wajah mereka yang ceria. Nampaklah
awan-awan yang terembus dari ujung kedua matanya melukiskan bayang-bayang sedih,tangis,
jeritan, dan rasa takut yang menghantam nyali kecilnya. Bayang-bayang itu
serupa uap air yang terus membuntutinya. Ada sebilah golok. Ada jilatan api.
Ada kerumunan masa. Ada truk tronton yang menerabas lampu merah. Ada roda baja
yang menggilas rel. Ada kencang cengkeraman tangan berapi. Ada soft drink, sate kambing, sate kuda,
getah pepaya pembuat kondom, dan segelas jamu dari seorang perempuan di
pedalaman, berwajah dingin dan tenang.
Mereka
menggandengku. Bersorak-sorai menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah kudengar
sebelumnya. Suaranya seperti siulan seruling yang bersahut-sahutan. Aku
digiring menuju perbukitan itu, layaknya seorang raja yang dikirab para
prajurit. Tak aku sangka,dari balik bukit itu terhampar pantai dengan biru
lautan yang menyatu dengan langit. Burung-burung terbang melesat, mendarat,
menyentuh perairan. Tercipratlah.
Sepasang
mata teduh seperti mengikutiku. Aku mencarinya di antara ribuan pasang mata
yang mengerumuniku. Rupanya dia berada di antara barisan paling belakang.
Sepasang mata teduh itu menatapku tenang. Perlahan bibirnya mengembang. Pipinya
kemerahan. Ikal rambutnya, mancung hidungnya mengingatkanku akan Mas Nendra.
Yah, sorot matanya serupa telaga yang memaksaku untuk segera membasuh letih dan
murungku. Aku langsung mengejarnya. Rasanya ingin sekali aku menggendongnya,
lalu mengajaknya bercanda.Tapi ia menghindar di antara kerumunan kawanan malaikat
ini. Aku gemas dibuatnya. Apalagi teman-temannya membantunya untuk menghindar.
Yah, tangan-tangan mungil mereka saling bergandengan tangan. Aku merasa
terpagar. Aku berusaha menyelinap di antara sela-selanya, tapi mereka terlalu lincah,
hingga kepalaku membentur tangan-tangan itu. Aku letih dibuatnya.
Angin
berisik. Ombak itu kian membesar mendekati kami. Kemudian menggulung satu
persatu tubuh-tubuh mungil itu. Begitu juga dengan tubuhku. Laut lazuardi itu
menyeret tubuh-tubuh kami dari arus terbawah, melalui kaki kami. Bukan dari
gelombang dan buh-buh air yang serupa didih itu.
Pavilliun
22.30
Pandanganku
berkabut. Berkelebat-kelebat tubuh-tubuh menghalangi mataku.
“Dia sadar! Dia sadar!”
“Syukur kalau begitu.”
“Mbak? Mbak?”
“Sediakan air putih!”
“Wajahnya nampak pucat!”
“Basuh keringatnya supaya tidak basah!”
Sebatang
jari telunjuk menekan leherku pelan.“Ada denyut nadi.”
Kemudian
mendekati hidungku. “Dia bernafas!”
Sorot
cahaya terang berpendar memaksa mataku membuka lebar-lebar. Engkau kah malaikat
penolong? Lalu di mana sepasang mata teduh itu? Mengapa aku begitu lekas
memendam rindu? Di mana? Di mana sepasang mata teduh itu?
“Siapa yang kau cari? Tak ada anak-anak di
rumah ini.”
“Anak itu. Anak itu. …..”
Ternyata lelaki itu di sampingku. Aku begitu
kecewa. Harusnya ia pergi saja. Menjauh dariku, kemudian kematian memisahkan.
Aku bisa leluasa menghapus segala kenangan, catatan harian, nama kontak handphone yang menuliskan namanya. Aku
akan siap menghapus ingatan, meski itu sulit. Seperti mengingat tempat-tempat
indah yang pernah kami singgahi. Hotel-hotel asri yang pernah kami pakai untuk
menginap setiap malam Valentin, malam keempat belas Februari yang tak selalu
hujan. Juga bagaimana dia pertama kalinya membawaku ke dalam percumbuan yang
sakit, dan membakar kerinduanku. Sehingga aku seperti seorang pecandu yang
menghamba persekutuan antara sarung dan pedang, antara anak panah dan jantung
hati dalam kisah-kisah romantik yang klise.
Hanendra
Sebelum
matahari merayap turun, kau
segera naik ke atas. Menerobos butir-butir hujan yang meruncing, membelah kabut
ketika barisan bukit-bukit membuncahkan gairah untuk hanyut dalam
imajinasi.
Seperti
tak ada beda musim di sini. Hujan saban hari datang tak diundang. Mesin menderu, menanjak, membuat
lingkar lenganmu kian erat di pinggangku. Pohon cengkeh berjajar di setiap
bukit, bagai
lukisan dongeng-dongeng
lama. Kau
menyelipkan setangkai kembang wortel di telingamu, kemudian memaksaku memotretmu.
Puas
menatap maha ukir candi, dan ricih cipratan air terjun di kaki
Gunung Lawu, kau
mengajak aku berlari-lari berkejaran layaknya film India. Kau pintar memilih
lokasi. Kebun teh. Tak kau pedulikan para pemetik daun terheran-heran melihat
polah tingkah kita. Ah, tak masalah, yang penting kita tak berciuman tanpa malu
di antara rerimbunan pohon teh. Rupanya kita lebih punya malu lantaran memilih
lebih dari semua itu di cottage yang
lebih tinggi dan sepi. Tak mungkin ada sweeping
di tempat ini. Apalagi tipiring, Mungkin tempat menanjak seperti ini membuat
para petugas malas. Bukankah di tempat yang dingin seperti ini lebih enak,
minum kopi, makan gorengan, merokok. Jika malam kian menusuk-nusuk tulang,
mereka biasa menenggak bir seraya menyalakan api unggun.
***
Bibirnya
mendesis. Ia terus memanggilku dengan susah payah. Matanya hanya satu yang bisa
membuka kelopaknya. Aku tak tega melihat kondisi seperti itu.
Tapi
satu hal yang aku syukuri, ia masih hidup. Hembus nafasnya terasa hangat ketika
kudekatkan jari telunjuk mendekati mungil hidungnya, meski lirih. Aku tak
mungkin membiarkan bayi itu lahir. Aku tak mungkin membiarkan ia menjadi ibu
dari anakku. Aku belum siap segalanya.
Aku
pun tak tahu, apakah ia paham jika aku cemburu dengan caranya menyapa
teman-teman lamanya, apalagi obrolannya terlalu jorok dan vulgar. Sebenarnya
aku malu jika bertemu dengan kawan-kawan lamanya.
Sepertinya
aku harus mengakhiri semuanya. Perempuan berwajah ayu dan bertubuh sintal
seperti dia hanya akan selalu membakar api cemburu, api curiga. Sebodoh inikah
aku?
Setahuku
dia kembang kampus di fakultas kedokteran sebuah universitas swasta. Dia nyaris
sempurna, cantik, suaranya juga bagus. Darinyalah, aku belajar tentang makna keindahan.
Kalau toh dia tak seperti teman-temannya, keluargaku tak mungkin menolaknya.
Kata salah satu temannya, cantik wajahnya tak pantas tinggal di rumah kontrakan
berdinding kayu bersama orangtuanya di desa. Ayah dan ibuku sangat menghargai pilihanku
kecuali jika aku membawa pulang seorang lelaki terindah manapun.
Dinar
Pavilliun
10.00
Operasi
selesai. Hanendra masuk sembari menyembunyikan rangkaian bunga di belakang
punggungnya untuk Dinar. Suster cantik berkacamata tebal menyusul dengan keteplak
suara sepatunya. Ia mengecek selang infus dan membuka kotak obat, lalu
menutupnya kembali. Dinar menangis. Tak hiraukan kedatangan Hanendra. Dadanya
masih sesak. Sepertinya ia tahu, bahwa Hanendra membiarkannya terjatuh hingga
keguguran. Dinar semakin tahu, bahwa Hanendra pengecut. Dia belum berani
mengambil risiko. “Seandainya saja malam keempat belas tidak ada, pasti aku
tidak di sini. Mungkin aku harus menghapus tanggal itu di kalender kamarku,”
pikir Dinar.
Solo, Agustus 2010
by Abednego Afriadi
0 Response to "Malam Keempat Belas"
Post a Comment