Teste Teste Teste

Malam Keempat Belas



Dada ini tidak bergemuruh. Apalagi sedu tangis ratap. Jalan setapak yang kulalui ini begitu sunyi. Kira-kira seratus langkah lagi, aku tiba di sebuah telaga yang airnya memantulkan vibrasi nyanyian bidadari.

Sorot sepasang mata teduh itu mengisapku perlahan. Ringan tubuhku menyelusup ke labirin kedalaman matanya, hingga aku terjaga di antara semak-semak hijau dan kebun bunga yang dihiasi kupu-kupu berwarna-warni. Sepasang burung dengan bulu warna-warni pula dan berparuh emas membangunkanku dengan kicauan dan sayapnya yang menerbangkan tubuhnya, berputar-putar tepat di depan mukaku. Aku menggeliat. Belum pernah aku sebebas ini. Aku berjalan menyusuri jalan itu, jalan setapak yang dilewati anak-anak kecil bersayap putih,dan bermahkotakan daun.

Dari kejahuan, di setapak jalan yang membelah perbukitan rumput, ribuan anak-anak berjubahkan kain putih itu berlari riang seraya mengacung-acungkan tongkat kecil bertaburan titik-titik cahaya, mengingatkanku tentang sosok Nirmala nan jelita.

Ribuan anak dengan warna kulit yang berbeda, entah dari bangsa mana saja, berlarian mendekatiku. Semakin jelaslah wajah-wajah mereka yang ceria. Nampaklah awan-awan yang terembus dari ujung kedua matanya melukiskan bayang-bayang sedih,tangis, jeritan, dan rasa takut yang menghantam nyali kecilnya. Bayang-bayang itu serupa uap air yang terus membuntutinya. Ada sebilah golok. Ada jilatan api. Ada kerumunan masa. Ada truk tronton yang menerabas lampu merah. Ada roda baja yang menggilas rel. Ada kencang cengkeraman tangan berapi. Ada soft drink, sate kambing, sate kuda, getah pepaya pembuat kondom, dan segelas jamu dari seorang perempuan di pedalaman, berwajah dingin dan tenang.

Mereka menggandengku. Bersorak-sorai menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah kudengar sebelumnya. Suaranya seperti siulan seruling yang bersahut-sahutan. Aku digiring menuju perbukitan itu, layaknya seorang raja yang dikirab para prajurit. Tak aku sangka,dari balik bukit itu terhampar pantai dengan biru lautan yang menyatu dengan langit. Burung-burung terbang melesat, mendarat, menyentuh perairan. Tercipratlah.

Sepasang mata teduh seperti mengikutiku. Aku mencarinya di antara ribuan pasang mata yang mengerumuniku. Rupanya dia berada di antara barisan paling belakang. Sepasang mata teduh itu menatapku tenang. Perlahan bibirnya mengembang. Pipinya kemerahan. Ikal rambutnya, mancung hidungnya mengingatkanku akan Mas Nendra. Yah, sorot matanya serupa telaga yang memaksaku untuk segera membasuh letih dan murungku. Aku langsung mengejarnya. Rasanya ingin sekali aku menggendongnya, lalu mengajaknya bercanda.Tapi ia menghindar di antara kerumunan kawanan malaikat ini. Aku gemas dibuatnya. Apalagi teman-temannya membantunya untuk menghindar. Yah, tangan-tangan mungil mereka saling bergandengan tangan. Aku merasa terpagar. Aku berusaha menyelinap di antara sela-selanya, tapi mereka terlalu lincah, hingga kepalaku membentur tangan-tangan itu. Aku letih dibuatnya.

Angin berisik. Ombak itu kian membesar mendekati kami. Kemudian menggulung satu persatu tubuh-tubuh mungil itu. Begitu juga dengan tubuhku. Laut lazuardi itu menyeret tubuh-tubuh kami dari arus terbawah, melalui kaki kami. Bukan dari gelombang dan buh-buh air yang serupa didih itu.

Pavilliun
22.30
Pandanganku berkabut. Berkelebat-kelebat tubuh-tubuh menghalangi mataku.
“Dia sadar! Dia sadar!”
“Syukur kalau begitu.”
“Mbak? Mbak?”
“Sediakan air putih!”
“Wajahnya nampak pucat!”
“Basuh keringatnya supaya tidak basah!”
Sebatang jari telunjuk menekan leherku pelan.“Ada denyut nadi.”
Kemudian mendekati hidungku. “Dia bernafas!”

Sorot cahaya terang berpendar memaksa mataku membuka lebar-lebar. Engkau kah malaikat penolong? Lalu di mana sepasang mata teduh itu? Mengapa aku begitu lekas memendam rindu? Di mana? Di mana sepasang mata teduh itu?
“Siapa yang kau cari? Tak ada anak-anak di rumah ini.”
“Anak itu. Anak itu. …..”

Ternyata lelaki itu di sampingku. Aku begitu kecewa. Harusnya ia pergi saja. Menjauh dariku, kemudian kematian memisahkan. Aku bisa leluasa menghapus segala kenangan, catatan harian, nama kontak handphone yang menuliskan namanya. Aku akan siap menghapus ingatan, meski itu sulit. Seperti mengingat tempat-tempat indah yang pernah kami singgahi. Hotel-hotel asri yang pernah kami pakai untuk menginap setiap malam Valentin, malam keempat belas Februari yang tak selalu hujan. Juga bagaimana dia pertama kalinya membawaku ke dalam percumbuan yang sakit, dan membakar kerinduanku. Sehingga aku seperti seorang pecandu yang menghamba persekutuan antara sarung dan pedang, antara anak panah dan jantung hati dalam kisah-kisah romantik yang klise.

Hanendra
Sebelum matahari merayap turun, kau segera naik ke atas. Menerobos butir-butir hujan yang meruncing, membelah kabut ketika barisan bukit-bukit membuncahkan gairah untuk hanyut dalam imajinasi.

Seperti tak ada beda musim di sini. Hujan saban hari datang tak diundang. Mesin menderu, menanjak, membuat lingkar lenganmu kian erat di pinggangku. Pohon cengkeh berjajar di setiap bukit, bagai lukisan dongeng-dongeng lama. Kau menyelipkan setangkai kembang wortel di telingamu, kemudian memaksaku memotretmu.

Puas menatap maha ukir candi, dan ricih cipratan air terjun di kaki Gunung Lawu, kau mengajak aku berlari-lari berkejaran layaknya film India. Kau pintar memilih lokasi. Kebun teh. Tak kau pedulikan para pemetik daun terheran-heran melihat polah tingkah kita. Ah, tak masalah, yang penting kita tak berciuman tanpa malu di antara rerimbunan pohon teh. Rupanya kita lebih punya malu lantaran memilih lebih dari semua itu di cottage yang lebih tinggi dan sepi. Tak mungkin ada sweeping di tempat ini. Apalagi tipiring, Mungkin tempat menanjak seperti ini membuat para petugas malas. Bukankah di tempat yang dingin seperti ini lebih enak, minum kopi, makan gorengan, merokok. Jika malam kian menusuk-nusuk tulang, mereka biasa menenggak bir seraya menyalakan api unggun.

***
Bibirnya mendesis. Ia terus memanggilku dengan susah payah. Matanya hanya satu yang bisa membuka kelopaknya. Aku tak tega melihat kondisi seperti itu.

Tapi satu hal yang aku syukuri, ia masih hidup. Hembus nafasnya terasa hangat ketika kudekatkan jari telunjuk mendekati mungil hidungnya, meski lirih. Aku tak mungkin membiarkan bayi itu lahir. Aku tak mungkin membiarkan ia menjadi ibu dari anakku. Aku belum siap segalanya.

Aku pun tak tahu, apakah ia paham jika aku cemburu dengan caranya menyapa teman-teman lamanya, apalagi obrolannya terlalu jorok dan vulgar. Sebenarnya aku malu jika bertemu dengan kawan-kawan lamanya.

Sepertinya aku harus mengakhiri semuanya. Perempuan berwajah ayu dan bertubuh sintal seperti dia hanya akan selalu membakar api cemburu, api curiga. Sebodoh inikah aku?

Setahuku dia kembang kampus di fakultas kedokteran sebuah universitas swasta. Dia nyaris sempurna, cantik, suaranya juga bagus. Darinyalah, aku belajar tentang makna keindahan. Kalau toh dia tak seperti teman-temannya, keluargaku tak mungkin menolaknya. Kata salah satu temannya, cantik wajahnya tak pantas tinggal di rumah kontrakan berdinding kayu bersama orangtuanya di desa. Ayah dan ibuku sangat menghargai pilihanku kecuali jika aku membawa pulang seorang lelaki terindah manapun.

Dinar
Pavilliun
10.00
Operasi selesai. Hanendra masuk sembari menyembunyikan rangkaian bunga di belakang punggungnya untuk Dinar. Suster cantik berkacamata tebal menyusul dengan keteplak suara sepatunya. Ia mengecek selang infus dan membuka kotak obat, lalu menutupnya kembali. Dinar menangis. Tak hiraukan kedatangan Hanendra. Dadanya masih sesak. Sepertinya ia tahu, bahwa Hanendra membiarkannya terjatuh hingga keguguran. Dinar semakin tahu, bahwa Hanendra pengecut. Dia belum berani mengambil risiko. “Seandainya saja malam keempat belas tidak ada, pasti aku tidak di sini. Mungkin aku harus menghapus tanggal itu di kalender kamarku,” pikir Dinar.
Solo, Agustus 2010
by Abednego Afriadi

0 Response to "Malam Keempat Belas"

Post a Comment

wdcfawqafwef