Setiap kali check in kau
selalu memilih kamar nomor, 7, dan 9. Tak pernah kau pesan angka 6, apalagi 13.
Mungkin saja kau masih enggan mengambil risiko. Bahkan kau juga pernah
menjelaskan padaku tentang angka-angka Tuhan, dan angka-angka setan.
Entah, sudah berapa kamar kita
pakai. Sudah berapa jendela terbuka mengembuskan hawa pegunungan ketika kita
berada dalam sebuah kematian kecil. Sudah berapa lampu remang kekuning kuningan
menghias persetubuhan yang artistik. Sampai-sampai aku merasa punya rumah di
mana-mana.
Sudah berapa botol kita tenggak
bersama. Sudah berapa sprei, bantal, guling muak lantaran jijik melihat
kematian kita dalam malam malam yang paling jahanam dari segala malam jahanam.
Aku sudah tahu kau beristri. Dua anakmu lucu-lucu. Aku melihatnya di kotak foto
facebook yang kau unggah setiap kali selesai piknik. Dari foto-fotomu
itulah, aku mengerti betapa kau adalah suami yang baik, bapak yang selalu
menceritakan dan membanggakan anak-anaknya.
Aku mengenalmu sejak SMA. Dulu kau
tak seperti teman-temanmu yang gencar mencari pasangan, bahkan berani
berpacaran dengan cara yang kelewat batas. Kau pendiam. Potongan rambutmu,
model pakaian yang sering kau kenakan sama sekali tidak modis. Mungkin karena
dulu kau tinggal bersama kakekmu yang pensiunan veteran itu, kau jadi nampak
seumur dengan bapakmu.
Sudah berapa pil kita tenggak
bersama. Sudah berapa kepulan asap daun surga itu kita hisap di kedalaman kamar
yang tiba-tiba saja pengap oleh kata-kata yang tak mampu kita tulis dalam
status-status terbaru.
Kini. Justru ketika semua masa muda
terampas oleh waktu, kau justru lebioh menonjol dari teman-temanmu. Aku kira
elok parasmu dan tinggi tegap tubuhmu hanya rekayasa software canggih
zaman ini. Dan sejak pertemuan itu, di malam reuni itu, aku membatalkan diri
untuk menobatkanmu menjadi penipu dunia maya.
Seribu sesal kini merajam. Seribu
caci maki aku tancapkan dalam wajahku lewat cermin make up kamarku. Aku
pernah merobek-robek surat-suratmu. Aku pernah melempar kado yang kau berikan
padaku. Aku pernah meludahimu. Aku pernah membiarkanmu cemburu ketika kau
menjemputku di sebuah kos-kosan tak berinduksemang. Aku menganggapmu tak lebih
dari seorang tukang ojek yang aku bayar dengan kelegaan hatimu ketika wangi
tubuhku tak sengaja tercium oleh hidungmu. Bahkan sesekali kubiarkan saja
dadaku terhuyung menyandar ke punggungmu ketika rem sepeda motor kau injak
tiba-tiba.
Mengapa baru sekarang kau meluluhkan
hatiku dengan penampilan, kekayaan, dan ketenaranmu? Siapa yang tidak bangga menjadi
istri seorang lelaki yang saban hari menghias layar-layar sinetron dan infotainment?
Sayang sekali, semua berani kau lakukan ketika bibir ini sudah lama meraba
cinta puluhan lelaki. Sayang sekali semua baru aku terima perlakuanmu ini
ketika kau harus menyediakan tiga perempat cintamu kepada anak dan istrimu.
Hatiku begitu remuk. Sedang cinta
ini semakin mengkristal. Mataku sudah begitu tandus oleh derasnya sesal. Dosa,
mungkin hanya berlalu menjadi angin yang entah hinggap di mana.
***
Bumi
Di ruang konseling keluarga.
Seorang pendeta bermata teduh
menunggunya pada sebuah kursi dan meja yang sedikit berdebu. Bumi segera masuk.
Lantas, menyuarakan keluh kesahnya.
“Silakan. Ada yang bias saya Bantu?”
“Iya Pak Pendeta,” jawab Bumi
sembari duduk.
“Baik. Mari kita berdoa, memohon
ampun kepada Bapa, supaya semua bias diselesaikan dan keluar jalan terbaik.”
“Saya langsung saja, Pak!” sahut
Bumi usai kata amin diucapkan. “Saya akui saya selingkuh. Saya menemukan
kembali cinta pertama saya. Dia sekarang menerima cinta saya. Saya capek dengan
hidup penuh kebohongan. Bolehkah saya menceraikan istri saya? Bolehkah saya
hanya memberi mereka nafkah jasmani?”
Pak pendeta menghela nafas. Lalu
menjawab, “kalau boleh tahu, apa masalahnya? Bukankah semua sudah Anda janjikan
di depan Allah?”
“Saya tahu, saya salah! Tapi mengapa
saya masih mencintainya?”
Bumi melanjutkan ceritanya. Bibit
itu sudah saya tanam sejak lama. Sepuluh tahun lebih aku hanya terobsesi untuk
mencintainya. Sebenarnya kami sebangku, berangkat pulang bersama, masuk kelas,
makan di kantin bersama, bibit itu sudah tumbuh. Seterusnya. Hingga aku putus
asa, dan aku menemukan istriku.
Istriku perempuan baik-baik.tidak
suka menuntut, dan setia melayaniku. Aku bertemu dengannya ketika di gereja.
Karena tak ingin terlalu lama pacaran, aku segera menikahinya. Hanya dua bulan
kami pacaran. Semua demi melupakan hati yang luka. Semua demi memupus obsesi
saya untuk memilikinya. Kebiasaan buruk saya membayangkan jadi suaminya, ketika
di kamar mandi juga sudah tidak ada lagi.
Istriku mengandung. Anakku pertama
lahir. Setahun kemudian istriku hamil lagi. Anak keduaku lahir. Aku cukup
bahagia. Cinta ini menjadi lebih dalam lagi. Aku selalu merindukan merka.
Sangat. Apalagi jika syuting sinetron harus berjalan berbulan-bulan. Kesempatan
berkumpul terkadang tidak maksimal. Maka tak heran jika Anda lihat di album facebook,
pasti banyak pose-pose kami ketika piknik, disertai keceriaan yang
membuncah-buncah.
Tapi pertemuan itu, reuni itu
merusak semua. Erika kuakui masih secantik dulu. Dengannyalah aku mulai
mengenal daun-daun itu, serbuk-serbuk itu, pil-pil itu. Kadang aku sakau.
Dialah yang menjadi pertolongan pertamaku. Selepas itu semakin dalam kami
menari-nari dalam sebuah mimpi panjang. Entah sudah berapa janin tak berdosa aku
bakar dengan alkohol, nikotin, dan obat-obatan. Sudah berapa tangan menghujam
kehidupan mahkluk suci itu. Aku hanya meratap, tapi sakau kembali menjadi setan
seksi di hadapanku. Dan aku pun terbawa oleh lekuk lekuk imaji yang
dirangkainya.
Ketika Pak Pendeta nanar menatapku.
Raut mukanya seperti sedang ditimpa beban yang semakin berat. Matanya terlihat
lelah. Mungkin lantaran ceritaku, kisah hidupku ini. Meskipun klise tapi berat
untuk dilakoni. Kemudian aku pulang usai nasihat klise yang diberikannya padaku.
Ketika aku sakau sendiri, Ericka
meningalkanku sendirian di kamar ini. Kemudian tak kusadari borgol dingin
mengunci kedua pergelangan tanganku. Aku dibawa ke dalam mobil kijang merah.
Tubuhku masih terhuyung, kilat foto, dan sorot lampu wartawan tak henti-hentinya
membuntutiku. Seribu kata Tanya para juru warta itu kudengar bersahutan tak
beraturan.
***
Semua sudah beres, Pa! besok Papa
sudah bebeas. Jangan khawatir, anak-anak sehat. Istriku menghiburku ketika
membesukku.
Aku bebas. Aku kembali bersama anak
dan istriku. Tapi tawaran syuting datang lagi. Katanya, semakin kontroversial,
namaku laku dijual. Semua karena kesalahanku. Kata temanku yang memproduseri
film itu, namaku dinantikan para penonton sinetron yang sempat terhenti
penayangannya karena kasusku.
***
Kamar 13
081********
Erika kenapa kau tinggalkan aku?
085********
Maaf ini semua salahku
081********
Kau tega! Padahal sudah kuberikan
semua padamu! Kurang puas kamu?
085********
Maaf ini semua salahku
081********
Aku berkorban terlalu banyak
untukmu!
085********
Maaf ini semua salahku
081********
Erika, aku mencintaimu. Tolonglah
aku!
Bumi kian menggigil. Keringat dingin
mengucur deras. Pucat wajahnya. Lalu kembali, Erika memasukkan asap itu ke
dalam hidungnya dalam-dalam. Bumi lunglai. Matanya mengembara pada sebuah
pertemuan dengan seorang bidadari dari telaga yang tak keruh. Bidadari itu
mengenakan handuk, lalu mengajaknya menyelam. Kemudian terdengarlah gedoran
pintu kamar 13. kembali borgol mengikat tangannya.
Erika menghilang.
Beberapa bulan, Bumi bebas lagi.
Istrinya menangis. Tapi anak-anakanya bercanda dan tertawa menonton acara
komedi di televisi.
***
Hujan di Musim Kemarau
Tiba-tiba hujan. Angin berantakan.
Bumi menepi, dan masih di dalam mobil. Dada Bumi tiba-tiba bergemuruh. Kilat
dan hujan merajam tanah-tanah kering. Hingga sebuah hotel tua nampak seperti setting
film drakula. Bumi tersentak. Seorang perempuan seperti Erika berjalan bersama
seorang pria. Bumi ingat, pria yang menangkapnya itu lama juga bercakap-cakap
di depan seorang lelaki. Terlihat lelaki itu memberi ucapan selamat kepada
Erika, dan memberi sesuatu untuk dimasukkan ke dalam kantong.
“Seterusnya aku tak mengenal Erika.
Kuanggap ia menjadi etalase cantik di sebuah mall dan diskotik. Tapi suatu
ketika aku pergoki ia ikut dalam upacara bendera, berseragam
kecoklat-coklatan,” keluh Bumi.
Solo-Yogyakarta, Mei 2010
by Abednego
Afriadi (dimuat di koran opini.com, 31 Mei 2011)
hehe
ReplyDeleteakhire dapat 'wedhusan' nggak yg ini, Kang?
ora hahahaha
Delete