Teste Teste Teste

Surat Kaleng


“Kosong lagi,” keluh Bapak membuka sepucuk surat kosong tanpa nama pengirim. Sudah tujuh hari ini kami mendapat kiriman serupa. Beramplop putih polos, tanpa segurat pun tertulis nama pengirim. Setiap pagi tiba-tiba sudah terselip di bawah pintu, menyisakan aroma sewangi melati. “Pasti ada seseorang yang mengantarnya karena tukang pos baru datang setidaknya sekitar jam sembilan. Apalagi tidak ada bekas stempel cap pos atau paket kiriman tertentu,” kata Bapak.

Ternyata bukan hanya kami yang setiap pagi menerima surat itu. Semua rumah di RT 5 RW 9 Perumahan Surga Permai menerimanya setiap pagi.
“Kalau memang benar melompat pagar, berarti sudah keterlaluan!” geram salah satu warga saat rapat di rumah Pak RT.
“Apa perlu sewa satu satpam lagi untuk jaga malam sampai pagi?” usul yang lain.
“Iuran bulanan untuk satpam pagi saja sebagian nunggak setengah tahun, bahkan setahun. Lalu siapa yang akan nombok?” sanggah Pak RT.
“Apa mungkin Pak Sugiarto terus-terusan menutup kekurangan gaji satpam?”
Karena itu semua sepakat diadakan jadwal ronda sampai subuh, meskipun dengan resiko tak kuat menahan kantuk di tempat kerja. Semua harus berkorban hanya untuk mengetahui siapa pengirim surat kaleng itu, sekaligus menghindari prasangka buruk terhadap kampung sebelah yang dianggap sebagai kampungya pemabuk, pengamen, pencuri, perampok, kecu, dan setengah lokalisasi. Di kampung itu tinggal nama-nama yang mentereng di lembaran berita-berita kriminal kota. Mereka adalah Atmo Gelek, Priyo Tuwek, Bambang Subogel, Bah Gentong, Kastoyo Klewang, Wiyoto Pacul, Glempo, Glendoh dan Suradji Bacok. Itu belum yang kebal senapan dan hukuman.
Sudah dua hari ronda semalam suntuk berjalan, namun sepucuk surat tiba-tiba sudah terselip di bawah pintu begitu kami pulang.
“Jangan-jangan ini teror dari mereka?” kata Bapak ”Sejak pindah di perumahan ini, gelagat mereka mengisyaratkan yang tidak baik!” tukas Bapak beralan menuju arah kampung sebelah. Ibu melarangnya dengan alasan di kampung sebelah ada kembang kampung yang terkenal dengan goyangan syurnya jika berada di atas panggung dangdut, namanya Surejeb. Bapak membatalkan niatnya, tapi diam-diam ke kampung itu saat Ibu tertidur.
Paginya Ibu marah-marah. “Ternyata kamu nekat juga, Pak!” katanya sembari membanting daun pintu, lalu menguncinya agar Bapak tidak bisa masuk rumah. “Sudah, pulang saja ke rumah Surejeb!”
“Tidak!” bentak bapak sembari menggedor pintu. “Semalam aku ketemu seseorang yang ini sering mendatangi rumah-rumah. Tak peduli, miskin, janda, duda, tua, muda, jejaka, atau perawan!”
Mendengar Bapak membentak, Ibu sedikit ketakutan.
“Benar dugaanku Kiai Suluk yang mengirimkan surat-surat itu!” jawab Bapak lalu ke kamar dengan nafas tersengal-sengal.
Ibu dan aku setengah tidak percaya dengan pengakuan Bapak. Bisa jadi, itu alasan kuat agar kami percaya bahwa Bapak ke kampung sebelah tidak untuk menyaksikan goyangan dangdut Surejeb. Nama yang asing bagi kami. Kiai Suluk? Itu pasti hanya karangan Bapak. Aku sedikit curiga, jangan-jangan surat-surat kosong itu, Bapak sendiri yang memasang untuk mengelabuhi Ibu. Hanya demi menonton goyangan seronok saja harus mengorbankan orang sekampung?

Sisa letih ronda semalam suntuk masih terasa meski siangnya kuhabiskan waktu terlelap di kamar. Malam ini kurebahkan lagi tubuhku, hingga seorang bersorban putih menghampiriku kian dekat. Semakin jelas keriput wajahnya. Semakin silau rambut, jenggot dan cambangnya yang putih memerak. Mungkin benar kata Bapak, malam ini giliran aku yang di hampiri Kiai Suluk. Diserahkannya selembar kertas usang padaku dengan isyarat wajahnya supaya aku membacanya. Tapi kulihat tidak ada secoret pun tulisan darinya.
“Maaf Kiai, saya tidak menemukan tulisan Kiai!”
“Jangan malas berpikir!” gertaknya lalu pergi menghilang ditelan beragam mimpi yang berkecamuk dalam tidurku yang lelap.

Aku terbangun tepat pukul dua belas malam. Tubuh serasa letih dan enggan digerakkan. Pelipis seperti diikat karet. Aku minum setengah gelas teh hangat di meja ruang tamu. Sepi begitu menyeruap. Tak nampak seorang pun di rumah ini, bahkan di gardu pos ronda. Purnama begitu jelas tersenyum dari balik dedaunan pohon mahoni. Langit di atas kampung sebelah memerah. Gumpalan asap tercium begitu menyesakkan. “Kebakaraaaannn…toloongggg….,” teriakan bersahut-sahutan dengan bunyi kentongan itu memaksaku berlari menuju kampung sebelah.

Ditengah hiruk pikuk para pengungsi aku coba mencari Kiai Suluk. Siapa tahu berada di antara para pengungsi, pemadam kebakaran, atau rumah-rumah yang hangus terbakar? Aku ingin bertemu dengannya, sebagaimana mimpiku semalam. Pertanda apalagi yang akan disampaikan padaku?
(Solopos, 1 Agustus 2008)

0 Response to "Surat Kaleng"

Post a Comment

wdcfawqafwef