Teste Teste Teste

Menukar Kematian


“Harusnya kau tangguh seperti bapakmu. Ia sanggup meramal dan menunda kematian seseorang!”

Saat melahirkan aku, ibu mengalami sakit yang luar biasa. Kata nenek yang menunggui kelahiranku, setengah kepalaku terjepit tapi tak juga keluar dari rahimnya. Hingga pada akhirnya, seorang dukun bayi menyerah lalu menyuruh nenek untuk membawa ibu ke rumah sakit.

Kata Dokter Liong, aku ini anak ajaib. Anak yang seharusnya sudah mati begitu tak juga keluar seluruh tubuhnya. Mataku sudah bisa keluar, tapi hidung dan mulutku tertutup erat selingkar tulang muda di sebuah lubang. Dokter yang kini sudah pensiun dari sebuah rumah sakit swasta tersebut pernah juga bercerita bahwa ketika di rumah sakit, ibu terpaksa harus divacuum. Bayangkan saja betapa sakitnya! Aku mungkin tak ingat saat tempurung kepalaku dihisap tapi enggan keluar dari gelap hangatnya rahim ibu. Tapi cobalah membayangkan, bagaimana sakitnya ibu karena alat hisap itu tak juga melepaskanku dari cengkeraman lingkar tulang muda itu. Tak juga merocot tubuhku, meskipun udara dunia sudah menyambutku. Operasi adalah jalan terakhir. Jadi, tiga kali ibuku merasakan sakit. Itu belum empat puluh hari masa nifas, setelah segala piranti membelah daging perut ibu untuk memberiku jalan menghirup udara pertama di bumi ini.

Cerita dari nenek, dan Dokter Liong itulah yang membuatku tak berani membantah ibu ketika menceracaiku dengan segala umpatan, makian, bahkan perintah-perintahnya yang tidak masuk akal. Pernah sesekali aku disuruhnya membeli pembalut wanita di warung tetangga. Jelas aku menolaknya, biar bagaimana pun aku ini lelaki. Masa lelaki beli pembalut? Apalagi di depan warung itu kerap dipakai para pemuda penganggur di kampungku nongkrong, bermain gitar dan menenggak alkohol murahan. Pasti mereka bilang aku banci, kelainan seksual atau segala macam cap negatif. Lagipula di kampung aku tidak pernah bergaul, kecuali dengan seekor anjing yang aku beri nama Benjol. Aku juga bukan perokok. Apalagi minum minuman keras. Aku yakin mereka mencurigaiku sebagai laki-laki homo. Sempat aku tidak menuruti perintahnya, ia marah bukan kepalang, dan menempeleng pelipisku hingga pedas, dan kurasakan dunia ini bergoyang ke kanan dan ke kiri. Seperti goncangan kapal Kapten Hook yang menghadapi gelombang samudera. Aku pun dengan terpaksa menuruti permintaannya. Meski dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan bila perlu lari tunggang langgang begitu membawanya ke rumah.

Di antara tujuh sudaraku, akulah satu-satunya anak laki-laki. Kata ibu bapak melarang ibu mengikuti KB gara-gara belum punya anak laki-laki. Maka jangan heran jika hanya setahun lebih selisih umur kakak pertama hingga ke tujuh. Begitu terlahir anak perempuan, ayah selalu bercinta terus menerus hingga ibuku hamil. Dan baru memperbolehkan ibu KB spiral setelah aku lahir. Anak laki-laki.

Sebagai peramal yang kerap berkata benar akan nasib seseorang, tentu akan malu jika tidak berhasil memiliki anak laki-laki. Karena bapak kadung bercerita bahwa ia meramalkan bakal punya anak laki-laki. Dan ramalan itu baru terbukti tujuh tahun lebih kemudian. Jika saja aku terlahir perempuan, mungkin jasa ayah sebagai peramal tak lagi laku, bukan tak lain karena tidak sanggup meramal dirinya sendiri. Dan pasien ramalannya tidak mau tahu jika ayah beralasan klise tentang manusia yang tidak sempurna. Mungkin saja mereka sudah melupakan para nabi dengan segala kisah keajaiban Tuhan. Bisa jadi bapak mengajak ibu bercinta lagi, dan menunggu adikku lahir. Laki-laki.

Ketika tumbuh tiga tahun kemudian, aku dipandang paling aneh, bahkan paling buruk muka dibanding ke tujuh kakak perempuanku. Mereka cantik, putih, pandai pula di sekolah. Sedangkan aku tak serupawan mereka. Kepalaku kelewat lonjong. Seperti ada bekas ikat kepala yang membetot lingkar kepalaku. Juga jidatku yang menonjol ke depan. Kata ibu itu karena kepalaku terlalu lama terjepit.

Sebenarnya tak ada bedanya bapak memperlakukan semua anak-anaknya. Setiap foto keluarga, aku pun diajak, dan tak peduli dengan keadaanku. Berkulit gelap, sedikit bersisik, bermata tenggelam, hidung pesek, bibir lebar, badan kurus, dan jidat yang terlalu menonjol ke depan. Namun, bapak juga sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Tutur katanya pun halus. Berbeda dengan ibu yang terlalu menyakitkan hati jika menegur, juga keras suaranya. Seolah-olah kerongkongannya tersimpan sebatang mikrofon. Jika saja ia berbicara dekat denganmu, bukan tak mungkin segera pecah gendang telingamu.

Aku anak bungsu. Konon kata orang-orang kampung, anak terakhir tak ubahnya jutaan sisa-sisa sprema terakhir bapak yang kemudian berajut dengan ovarium ibu yang sudah berumur kepala tiga. Umur yang kelewat kasep waktu itu untuk memiliki anak. Demikianlah adanya, aku tak sepandai ketujuh kakaku. Selain cantik, mereka juga cerdas. Bahkan banyak pemuda kampung patah hati dibuatnya. Hampir setiap tahun mereka memperoleh beasiswa. Selepas lulus pun juga mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan tanpa sepersenpun menyogok, mereka bisa lolos masuk menjadi pegawai negeri. Selain karena cerdas, banyak pejabat-pejabat yang sanggup meloloskan semua lantaran mereka adalah pasien bapak yang selalu diramal baik olehnya. Pasien yang ditunda kematiannya oleh bapak.

Nasibku tak semujur ketujuh kakakku. Semakin kudengar pula desas-desus yang menuduh bapak memelihara pesugihan untuk pelarisan jasa meramalnya. Sehingga akulah, satu-satunya anak yang pantas menjadi tumbalnya. Namun, ayah cukup bijak. Beliau memintaku untuk meneruskan ilmunya. Ilmu meramal. Ilmu yang tidak membutuhkan gelar sarjana, apalagi profesor. Mana ada Profesor Peramal Yakub Warsito? Ah, mengada-ada saja. Yang penting aku menurut saja. Aku juga cukup senang. Karena dengan meramal, ayah bisa menyekolahkan anak, membeli rumah, dan beberapa mobil. Sampai sekarang aku masih belum tahu berapa tarif bapak sekali meramal dan menunda kematian seseorang. Yah, bapak ingin, aku meneruskan ilmunya. Bapak ingin aku menjadi penerus sebuah dinasti. Dinasti peramal, dan penunda kematian yang andal. Yah, aku memang diminta menjadi peramal dan penunda kematian karena aku tak memiliki kepandaian lain kecuali menyetelika, mencuci mobil, dan kuat mengangkat beras satu ton. Kemampuan yang hanya dimiliki kuli panggul, buruh, dan tukang bergaji rendah.

Bapak memintaku menjadi peramal tak lain karena bapak sudah meramal kematiannya sendiri.
“Mengapa bapak mati? Harusnya bapak bisa bernubuat masih hidup hingga umur seratus, seperti umur kakek buyut,” seruku protes.
“Karena kematian orang-orang itu aku perlambat, dan aku gantikan kematian mereka dengan kematianku sendiri. Sehingga kematianku semakin dekat. Semakin dekat. Lebih awal dari rencana Tuhan. Jangan sampai mereka tahu. Ini rahasia bapak dengan kamu. Ingat, tanggal 11 bulan 11 tahun 2010, ayah akan meninggalkan kalian semua.”

Aku hanya menangis sesenggukan. Dan memang benar. Bapak meninggal tepat tanggal 11 bulan 11 tahun 2010.
***
Suatu pagi, datang pasien bapak. Menanyakan nasibnya jika sudah tidak boleh lagi mencalonkan lagi menjadi bupati. Lalu dengan terpejam, menghela nafas panjang, aku mengatakan jika orang itu tidak boleh mencalonkan lagi menjadi bupati. Meskipun nekat mencalonkan tapi menjadi wakil, tetaplah tidak terpilih. Orang itu pergi dengan meninggalkan segepok uang limapuluh ribuan dengan muka masam. Sejak kejadian itulah, jasa ramalanku semakin berkurang pasiennya. Ibu hanya bisa mengumpat karena uang kebutuhan sehari-hari dari jasa ramalanku semakin berkurang. Sedangkan ketujuh kakakku sudah sibuk dengan masing-masing urusan rumah tangganya. Sejak itulah ibu mengusirku.

Sejak itu pula aku sering ke pinggir jalan depan kantor kabupaten. Aku ingin membalas para pejabat itu yang mempercepat kematian bapak yang seharusnya masih lama lagi. Aku begitu menyayangi bapak. Aku mengamati kebiasaan-kebiasaannya. Aku hafalkan merk mobilnya, plat nomornya, juga jam berapa ketika dia pulang dari kantor. Ketika hendak menyeberang, aku tatap mobilnya. Terus tak berkedip hingga akhirnya tiba-tiba saja tangannya memutar setir itu ke kiri kemudian menghantam trotoar. Mobil berguling. Tak lama dari arah berlawanan sebuah truk pasir menghantam, menyisakan jerit entah dari mana.

Aku ingat juga juragan kafe dari batas kota itu. Pria berjambang lebat yang tinggal di salah satu perumahan elite itu. Saban dini hari selalu memboncengkan perempuan berdada menyembul, berpaha mulus nan lembut pula. Di jalan ini, ketika ia pulang dari kafe, dia selalu mengendarai motor besar Harley Davidson. Aku hafal plat nomornya, juga jam berapa dia pulang dari kafe. Ketika hendak menyeberang, aku tatap ia. Terus tak berkedip hingga akhirnya tiba-tiba saja sepeda motor itu terjungkal. Tubuh gempalnya terpelanting dan kepalanya menghujam tepat di ujung trotoar. Tanpa pelindung kepala. Sedangkan perempuan yang diboncengkannya terlempar. Perutnya membentur pohon. Pingsan.

Aku juga ingat, perempuan bertubuh tambun itu. Istri seorang juragan roti itu, yang kerap kali aku dengar bisikannya kepada ibu untuk berani melawan dan mencaci maki bapak. Bahkan memanggil dengan cara tak sopan. “Le”. Perempuan bertubuh tambun itulah yang membujuk ibu untuk hutang bank hanya demi aroji, anting, kalung, gelang, berlian, tas kerja, dan segala tetek bengek yang tidak pantas dikenakan ibu. Istri juragan itu juga menggunakan jasa ramalan bapak. Ia meminta supaya kolesterol dan hipertensinya tidak memperpendek umurnya.

Aku hafalkan merk mobilnya, plat nomornya, juga jam ketika dia pulang dari plesir entah ke mana. Ketika hendak menyeberang, aku tatap mobilnya. Terus tak berkedip hingga akhirnya tiba-tiba saja tangannya memutar setir itu ke kiri kemudian menghantam trotoar. Mobil berguling. Tiba-tiba aku berkali-kali mengusap mata. Dadaku berdesir digores khawatir. Perempuan itu bersama ibu. Ibu berteriak histeris. Aku dengar teriakan itu dengan seksama. Teriakan semiris tubuhku yang tak juga mercocot dari rahimnya, dulu. Ah, aku buang pikiranku, kata-kata dalam hatiku aku ganti supaya mobil itu tidak terbakar. Kalau bisa terbalik lagi seperti semula. Tapi mobil itu semakin berguling-guling mendekatiku. Semakin dekat-semakin dekat. Ingin aku berlari. Tapi terlambat. Moncong mobil itu lebih dulu menghampiriku.
Mungkin aku masih menanggung kematian sebagian pasien bapak. Secepat inikah aku mati?
(Antologi Joglo TBJT Solo 2011)

0 Response to "Menukar Kematian"

Post a Comment

wdcfawqafwef