Teste Teste Teste

Kelopak Ingatan Ibu


Kian sunyi rumah ini. Seperti kidung Natal yang setiap malam keduapuluhempat sayup-sayup terdengar dari gereja di samping rumah. Aroma tanah basah menguar. Butiran-butiran air yang jatuh serupa arsiran di bingkai jendela yang membuka kelopak ingatan ibu. Teduh sorot matanya tak hirau oleh kedipan pohon Natal yang terhias terpaksa di sudut ruang tamu.
“Jual saja kereta itu!” kata ibu.
“Tapi ini satu-satunya peninggalan bapak,” jawabku sedikit mengencangkan suara karena volume radio kuno dipangkuannya terlalu kencang menyiarkan lagu nostalgia bernada sedih.
“Hutang-hutang kita belum lunas! Mumpung sudah ada yang memesan!” pintanya.
“Siapa?”
“Turis yang mengontrak rumahnya Pak Wira, tadi pagi ia menanyakanya.”
“Berani bayar berapa? Jangan-jangan dia bule pelit,” jawabku.
“Kamu selalu berpikir negatif.”
Aku menghela nafas, kemudian berfikir, seandainya bule yang hobi memotret itu mau membeli dengan harga tinggi, apakah dengan mudah ibu dapat menghapus segala kenangan pahit? Semudah itukah ibu berdamai dengan masa lalu?

Mungkin ibu masih ingat sewaktu kereta kuda ini dipakai bapak mencari penumpang di kebun binatang. Saat itu ayah mulai pensiun dari kantor tata usaha salah satu sekolah negeri favorit di kota ini. Selain iseng menjadi kusir kereta untuk mengisi aktivitas sehari-hari, bapak juga membungakan uang  untuk menambah pemasukan. Kegiatan yang tak memerlukan banyak tenaga, kecuali hanya menghitung jumlah cicilan dan bunga. Bapak membeli kereta itu setengah harga dari harga yang ditawarkan oleh salah seorang pedagang di pasar yang tak sanggup membayar hutang.

Sering ibu menangis jika melihat kereta itu mangkrak di garasi yang sekarang menjadi gudang. Penuh debu, kusam, dan sarang laba-laba. Mungkin ibu teringat bapak. Mungkin juga ibu teringat Belinda, kakakku satu-satunya yang memiliki nostalgia tentang kereta kuda ini.

Ibu tentu masih ingat saat Belinda menikah dengan Markus, kekasihnya. Menurut perhitungan masyarakat sekitar kami, hari itu adalah hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Bapak mengusulkan Belinda dan Markus naik kereta kuda itu saat hendak menuju gereja. Maka meskipun sederhana, tanpa hiburan artis lokal, dan hanya diisi kelompok paduan suara dari gereja setempat, prosesi pemberkatan itu bertaburkan decak kagum para tamu. Ada yang berbisik, bahwa kedua mempelai laksana seorang pangeran dengan puteri raja nan jelita. Ah, tak terasa lima tahun silam acara itu berlangsung. Seperi baru tahun lalu saja.

Aku masih teringat senyum bahagia bapak dan ibu kala itu. Seolah mereka mulai merasakan kelegaan karena tak lama lagi beban sebagai orangtua yang menanggung biaya kebutuhan anak mulai berkurang. Tapi seiring dengan lepasnya masa lajang Belinda, lepas pula satu persatu penghutang dari tanggungjawabnya. Mereka pergi entah ke mana. Seolah mereka sengaja tidak mau membayar. Selama mereka meminjam, baru aku tahu bahwa mereka tidak secuil pun meninggalkan jaminan. Mungkin karena masih sekampung, Bapak hanya percaya begitu saja dengan janji mereka yang sanggup mengangsur tepat waktu hingga lunas. Toh mereka menggantungkan nafkahnya hanya dari kios di pasar. Jadi tak sulit untuk menagihnya. Tapi nyatanya, kios mereka pun dijual. Bahkan disegel oleh petugas dinas kaki lima. Akibatnya modal sisa jaminan hari tua bapak seperti menguap begitu saja. Sejak itulah tekanan darahnya sering naik. Sering pula ia marah-marah sendiri tanpa alasan. Ayah mulai lemah tubuhnya, hingga nafasnya terhenti di ruang ICU rumah sakit.
***
“Kata Pak Wira, turis itu akan merayakan Natal di sini. Mungkin saja, ia ingin merayakan Natal sembari naik kereta keliling kota. Aku lihat pula ia sudah membeli kuda. Mumpung dia belum memesan kereta lain. Ingat, akhir bulan ini sudah jatuh tempo,” kata ibu penuh harap. “Kalau tidak segera diluniasi, rumah ini akan dieksekusi, dan kita akan menjadi gelandangan.”

Terdengar siut memanjang dari arah dapur, tanda air sudah lama mendidih. Aku bergegas ke dapur untuk mematikan kompor. Kuseduh kopi instan dan teh panas untuk ibu. Lantas kubawa ke ruang tamu.
“Berapa sisa utang itu? Apa kereta ini cukup membayar semuanya?”
“Ibu juga tak tahu.”
“Apa mungkin si bule itu mau membeli dengan harga tinggi?” tanyaku lagi.
“Ibu juga tidak tahu.”
“Lebih baik kita jual barang lain,” jawabku.
“Barang apa yang akan kita jual? Sepeda motor masih di pegadaian, sertifikat tanah masih juga ditahan di koperasi. Hanya ada kereta itu. Lagi pula aku tak tahan melihat bayang bapakmu melintas dan duduk di kereta itu,” jawab ibu dengan suara parau. Pandangan matanya kosong. Garis-garis di kerut wajahnya seperti anak sungai yang merambat ke pucuk pelupuk mata, dengan banjir yang menumpah ruah. Uban di kepalanya sudah memerak, tak ada lagi yang membeayainya bersemir sehingga nampak tak terawat, serupa pohon Natal yang sebagian rantingnya patah dan berserabutkan sarang serangga. Sedangkan aku juga belum bekerja. Tak ada biaya kuliah sejak bapak meninggal. Kuliahku berhenti. Aku memang harus segera bekerja. Peninggalan pensiun bapak hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan ibu. Belum urusan rumah ini.

Tangis kembali merambat di pipi ibu. Mungkin ia lekas ingin melupakan ayah dan Belinda yang lari dari suaminya, entah ke mana. Mungkin ibu ingin tetap menapaki dunianya sendiri. Dunia tanpa bapak dan Belinda. Demikian pula aku. Seandainya aku berani terus terang dengannya, bukan hanya ibu yang sedih jika melihat kereta itu, tapi juga aku. Aku pun memaklumi mengapa Belinda pergi meninggalkan Markus? Belinda pernah bercerita padaku. Sebenarnya Markus tak bisa mencintainya. Semua hanya untuk menutupi dirinya yang tak bisa menjadi laki-laki. Lagi pula Markus sesekali pernah menyeretku ke dalam kamar, saat Belinda tidak ada di rumah. Sekali itu, dan sangat menjijikkan.

Ah, ingin rasanya aku membunuh kelopak ingatan ini.Jogja, November 2011
by Abednego Afriadi

0 Response to "Kelopak Ingatan Ibu"

Post a Comment

wdcfawqafwef