Kami
bangsa yang setiap tangisnya mengeluarkan kabut. Kami terusir. Di gunung-gunung
tandus kami tinggal. Tapi jika suatu saat kau singgah di tepian danau, kau
hanya merasakan hembusan kabut dari air mata kami.
Barisan
kuda bersayap itu turun dari udara, berderap, meringkik, lalu turun dari langit
hitam yang terbelah. Penumpangnya bertopeng baja. Sriiing. Bunyi pedang dicabut dari sarungnya. Hwuk-hwuk-hwuk. Bunyi tombak yang diputar-putar siap menghujam
jantung siapa saja. Mungkin juga kamu yang membenci mereka.
Mereka
bukanlah iblis pengikut penguasa kerak-kerak bumi. Mereka bukan pula malaikat
yang telah diutus dari surga untuk mencatat setiap perilaku. Awalnya hanya
puluhan ekor, kemudian bertambah. Ratusan, ribuan, jutaan. Mereka turun dari
langit yang terbelah, serupa ujung rahim yang meluncurkan bayi. Awas! Mungkin
tak sampai sepuluh kali hitungan, tombak-tombak itu mulai dilemparkan ke tanah
ini. Dan apa yang kuduga, tubuh-tubuh kami yang berlarian rubuh tertancap tombak-tombak
itu. Anak-anak kehilangan ayahnya. Ibu-ibu kehilangan anaknya. Istri-istri
kehilangan suaminya. Ada yang selamat. Ada yang bersembunyi di kolong jembatan.
Ada yang mengungsi di pulau seberang. Ada yang terpisah. Sudah pasti, ada yang
mati.
Ketika
langit tertutup perlahan. Ketika membuka topeng bajanya, wajah mereka nampak
sayu, sorot matanya teduh, menyimpan kharisma yang memesona tapi tubuh mereka
berekor. Mereka turun dari kuda, kemudian berjalan tenang beriringan seraya
mengucapkan kata-kata yang tak kami mengerti.
Kami
hanya bisa bersembunyi dan menahan nafas. Siapa tahu, mereka sebangsa vampir
yang mengetahui keberadaan kami dari hembusan nafas kami. Hembusan nafas yang berkabut,
seperti air mata kami.
Tak
lama kemudian mereka kembali naik kuda bersayap itu, lalu terbang beriringan
menuju langit yang kembali terbelah. Suara mereka serupa gemuruh angin, dan
deburan ombak. Langit kembali menutup. Selebihnya hening.
***
Kota
ini terletak di antara putaran perbukitan seribu. Jika saja muncul air bah, dan
gunung-gunung itu tak mampu membendung, mungkin kami hanyut dan menjadi martir
untuk sebuah danau nan elok. Namun, beruntung, siulan kami yang pula berkabut
cukup mampu menenangkan ombak yang kejam menghantam.
Kami
hidup berdampingan. Saling membantu jika ada yang membutuhkan pertolongan.
Salah seorang pujangga pernah menuliskan puisi untuk kota ini ; kota ini
seteduh debu bekas telapak kaki orang-orang suci. Penuh susu dan madu. Tak ada
permusuhan. Tak ada kecurigaan. Jika musim penghujan, kami menggelar pesta.
Seperti halnya ketika panen tiba. Juga ketika kemarau, kami beramai-ramai
berteduh di bawah pepohonan untuk bercengkerama, memetik dawai kecapi, menabuh
rebana, dan melantunkan lagu-lagu tentang harapan akan hari esok. Air melimpah,
seperti halnya susu, madu, padi, dan beraneka buah-buahan. Jika rerumputan
menghijau dan lebat, kami menikmati karnaval seruling para gembala. Seruling
yang mengembuskan kabut di setiap lubangnya ketika ditiup hingga bersuara
syahdu. Jika panen tiba, kamu akan takjub melihat para petani perempuan berubah
ayu wajahnya, semilak tanpa make-up. Konon Dewi Sri turut menebarkan
butir-butir pesona nan asri di wajah wajah mereka.
Di
kota kami tak ada gedung-gedung bertingkat. Tak ada gempita club malam, tarian seronok, serta
turis-turis yang terhuyung muntah lantaran perutnya dipenuhi minuman sejenis
arak. Tak ada erangan purba ketika peluh membanjir di setiap lekuk tubuh. Tak
ada klakson memekakkan telinga. Tak ada asap-asap hitam muntah dari
corong-corong mesin. Tak ada pula kemarahan dan raut kesakitan ketika tubuh
sudah tak lagi menghembuskan nafas. Tak ada darah yang tercecer. Tak ada….Tak
ada…..
Lonceng
berdentang acapkali fajar membuka Minggu. Bedug bertalu, menggema setiap
menanda waktu orang-orang membasuh muka-muka yang berdebu. Doa-doa menghening,
syahdu.
Kota
kami tidak dipimpin oleh seorang berbadan tegap penuh wibawa, tentara,
politisi, pengusaha, atau artis. Kota kami dipimpin oleh seorang pria
pengembara berbadan kurus, pendek, juga hitam kulitnya. Kota kami dipimpin seseorang
dengan wajah yang selalu ditutupi oleh caping. Terkadang bertopeng putih polos.
Dari bisik warga, beliau tak berani menampakkan wajahnya lantaran ada bekas
luka di wajahnya kala kota ini dilanda wabah penyakit. Tapi ada pula yang
bercerita jika wajahnya rusak karena dihantam halilintar dan pedang ketika kota
ini diserbu pasukan manusia harimau.
Pemimpin
kami, hingga kini masih berdiam di pertapaannya meskipun pasukan kuda bersayap
semakin memperlihatkan runcing kemarahannya. Tiupan seruling kami tak mempan
lagi menghembuskan kabut perdamaian. Dari dalam gua pertapaannya, pemimpin kami
tak jarang menyerukan perang, tapi tak jarang kami sering menghadapi mereka
sendiri. Tanpa aba-aba darinya. Berbagai alasan melontar kala ia menyatakan tak
ikut berperang. Konon pemimpin kami membiarkan pasukan kuda bersayap itu mulai
meransek ke kota kami, mengawini gadis-gadis, mengajak para penganggur untuk
ditahbiskan menjadi pasukan kuda bersayap tembaga. Generasi kami mulai hilang.
Mantera
sakti dukun tak mampu mencegah mereka. Satu persatu, kami bangsa bertangiskan
kabut semakin hilang. Mungkin tak lama lagi, kami akan punah.
Kami
tak lagi punya tempat merayakan upacara menangis dan mengumpulkan jutaan
butiran kabut untuk pagi yang berserabut putih dan malam-malam yang berkilauan
bintang gemintang. Selendang putih tangis kami kerap mengalungi rembulan kala
purnama. Kami tak lagi punya genta yang menebarkan gaung perdamaian.
“Pemimpin,
jumlah mereka semakin bertambah!”
“Mereka
mengancam kami!”
“Iya,
bahkan menculik kami. Satu persatu.”
“Dengan
gendam.”
“Mereka
mencuci otak kami.”
“Jika
dibiarkan, kita semua akan punah.”
“Kita
akan mati.”
“Kita
akan hidup tapi mati.”
“Kosong.”
“Koma.”
“Sengsara.”
Kami
hanya bisa meratapi tangis kesakitan pepohonan ketika gergaji-gergaji mesin
mereka memotong-motong tubuh mereka. Kami hanya bisa menangis kala lumpur, dan lahar
memuntah. Hingga kabut di kelopak mata
kami mulai menguap. Hingga bola mata kami berdarah, pemimpin kami baru mau
keluar dari pertapaannya. Giginya bergemerutuk. Tangannya mengepal. Nafasnya
memburu, meski berusaha meredam gemuruh dalam dadanya.
“Bukankah
dulu, kami yang menyanjungmu?”
“Dengan
tarian, nyanyian, bahkan menjadikan Pemimpin juga seorang biduan yang berakhlak
mulia?”
“Bukankah
kami yang menyembuhkan luka pemimpin dengan kabut yang menetes dari mata kami?”
Pemimpin
kami menangis. Kemudian meminta kami untuk berkumpul merapat karena langit
mulai dipenuhi gerumbul awan hitam. Petir seperti meretakkannya. Hujan serupa anak
panah kristal, kemudian memecah ketika menjatuhkan diri ke tanah-tanah kering.
Gunung-gunung mulai berguncang, bergemuruh. Langit kembali terbelah. Pasukan
kuda bersayap dari atas sudah bersorak sorai melantunkan himne peperangan. Juga
anak-anak dengan tubuh legam terbakar matahari. Mereka ada lagi pasukan kuda
bersayap itu. Muka mereka tak lagi ramah seperti yang kami kira ketika pertama
membuka topeng baja, dan turun dari kuda bersayap tembaga. Alis mereka
meruncing, pun matanya menyipit licik. Ada dua cula mulai tumbuh di kepalanya.
Cekung pipinya, keriput kulit wajahnya. Menghitam pula giginya berbanjir
lendir-lendir amis. Kedua mata mereka memerak.
Pemimpin
kami terpejam. Menghadap kami yang berkerumun terkepung. Kedua bola hitam di
matanya lenyap, lalu memerah bara. Setelah menghela nafas, mulut pemimpin kami
hanya bergumam, seolah membiarkan mereka menangkap kami lalu memaksa kami pergi
dari lembah ini. Mengusir kami dengan kasar ke arah puncak-puncak gunung yang
mengelilingi kota kami. Gunung yang dihuni seribu satu arwah orang-orang mati.
“Ini
tanah kami!” teriak kami bersahutan.
“Ini
rumah kami!!” seru kami seraya mengacungkan tangan, dan bendera putih
perdamaian.
Mereka
tak menggubris. Meski suara kami seperti lolongan anjing yang memrotes keadaan.
Kami
berkemah di puncak-puncak bukit. Langit kembali menutup. Dari atas bukit ini
kami bisa menyaksikan mereka mabuk oleh kemenangan. Mereka berpesta
mengelilingi penari seronok yang selama ini mereka kecam kemudian mencium
segepok uang dari tangan pemimpin kami yang tiba-tiba saja menghilang serupa
air yang menguap cepat. Aku jadi heran, ternyata pasukan bertopeng baja yang
memaksa langit menyediakan tempat tinggalnya itu masih mau disuap. Padahal
selama ini aku berfikir, mereka hanya butuh langit. Tak butuh uang. Selalu
mereka berbaris seraya menghentak-hentakkan tanah.
Kami
membiarkan mereka bersorak-sorai hingga tak sadar bendungan di setiap bukit
yang mengelilingi lembah itu mulai retak, jebol lantaran tak kuasa menahan
gelombang samudera yang mengepung lembah itu. Lagipula tangis kami tak lagi
sanggup menghalaunya. Kelopak mata kami terlalu letih dan sakit karena kadung
menjadi darah. Gemuruh semakin dekat. Pasukan bertopeng baja mulai panik.
Kuda-kuda bersayap tembaga terbang seketika untuk kembali pulang kepada langit
yang mulai terbelah. Meninggalkan pasukan bertopeng baja yang merayakan
kemenangan. Kemenangan mengusir kami dari tanah yang sejuk seperti bekas
telapak kaki orang-orang suci. Langit hitam pekat berkalungkan
gerumbul-gerumbul hitam yang berkali-kali terbelah halilintar. Pasukan
bertopengkan baja itu hanya bisa berteriak meminta tolong dengan kata-kata yang
tak kami mengerti. Entahlah apa itu?
Solo, 27
Desember 2010
Abednego
Afriadi lahir di Solo. Pernah aktif di teater. Cerpennya pernah dimuat di Jawa
Pos, Koran Sindo, Kedaulatan Rakyat, Sinar Harapan, Merapi, Joglosemar,
Solopos, Majalah Gong. Kini tinggal di Grogol, Sukoharjo
sip sip sip
ReplyDelete