Teste Teste Teste

Gerombolan Pengusir



Abednego Afriadi (Suara Pembaruan, 24 Juni 2012)

Kami bangsa yang setiap tangisnya mengeluarkan kabut. Kami terusir. Di gunung-gunung tandus kami tinggal. Tapi jika suatu saat kau singgah di tepian danau, kau hanya merasakan hembusan kabut dari air mata kami.


Barisan kuda bersayap itu turun dari udara, berderap, meringkik, lalu turun dari langit hitam yang terbelah. Penumpangnya bertopeng baja. Sriiing. Bunyi pedang dicabut dari sarungnya. Hwuk-hwuk-hwuk. Bunyi tombak yang diputar-putar siap menghujam jantung siapa saja. Mungkin juga kamu yang membenci mereka.

Mereka bukanlah iblis pengikut penguasa kerak-kerak bumi. Mereka bukan pula malaikat yang telah diutus dari surga untuk mencatat setiap perilaku. Awalnya hanya puluhan ekor, kemudian bertambah. Ratusan, ribuan, jutaan. Mereka turun dari langit yang terbelah, serupa ujung rahim yang meluncurkan bayi. Awas! Mungkin tak sampai sepuluh kali hitungan, tombak-tombak itu mulai dilemparkan ke tanah ini. Dan apa yang kuduga, tubuh-tubuh kami yang berlarian rubuh tertancap tombak-tombak itu. Anak-anak kehilangan ayahnya. Ibu-ibu kehilangan anaknya. Istri-istri kehilangan suaminya. Ada yang selamat. Ada yang bersembunyi di kolong jembatan. Ada yang mengungsi di pulau seberang. Ada yang terpisah. Sudah pasti, ada yang mati.

Ketika langit tertutup perlahan. Ketika membuka topeng bajanya, wajah mereka nampak sayu, sorot matanya teduh, menyimpan kharisma yang memesona tapi tubuh mereka berekor. Mereka turun dari kuda, kemudian berjalan tenang beriringan seraya mengucapkan kata-kata yang tak kami mengerti.

Kami hanya bisa bersembunyi dan menahan nafas. Siapa tahu, mereka sebangsa vampir yang mengetahui keberadaan kami dari hembusan nafas kami. Hembusan nafas yang berkabut, seperti air mata kami.

Tak lama kemudian mereka kembali naik kuda bersayap itu, lalu terbang beriringan menuju langit yang kembali terbelah. Suara mereka serupa gemuruh angin, dan deburan ombak. Langit kembali menutup. Selebihnya hening.
***
Kota ini terletak di antara putaran perbukitan seribu. Jika saja muncul air bah, dan gunung-gunung itu tak mampu membendung, mungkin kami hanyut dan menjadi martir untuk sebuah danau nan elok. Namun, beruntung, siulan kami yang pula berkabut cukup mampu menenangkan ombak yang kejam menghantam.

Kami hidup berdampingan. Saling membantu jika ada yang membutuhkan pertolongan. Salah seorang pujangga pernah menuliskan puisi untuk kota ini ; kota ini seteduh debu bekas telapak kaki orang-orang suci. Penuh susu dan madu. Tak ada permusuhan. Tak ada kecurigaan. Jika musim penghujan, kami menggelar pesta. Seperti halnya ketika panen tiba. Juga ketika kemarau, kami beramai-ramai berteduh di bawah pepohonan untuk bercengkerama, memetik dawai kecapi, menabuh rebana, dan melantunkan lagu-lagu tentang harapan akan hari esok. Air melimpah, seperti halnya susu, madu, padi, dan beraneka buah-buahan. Jika rerumputan menghijau dan lebat, kami menikmati karnaval seruling para gembala. Seruling yang mengembuskan kabut di setiap lubangnya ketika ditiup hingga bersuara syahdu. Jika panen tiba, kamu akan takjub melihat para petani perempuan berubah ayu wajahnya, semilak tanpa make-up. Konon Dewi Sri turut menebarkan butir-butir pesona nan asri di wajah wajah mereka.

Di kota kami tak ada gedung-gedung bertingkat. Tak ada gempita club malam, tarian seronok, serta turis-turis yang terhuyung muntah lantaran perutnya dipenuhi minuman sejenis arak. Tak ada erangan purba ketika peluh membanjir di setiap lekuk tubuh. Tak ada klakson memekakkan telinga. Tak ada asap-asap hitam muntah dari corong-corong mesin. Tak ada pula kemarahan dan raut kesakitan ketika tubuh sudah tak lagi menghembuskan nafas. Tak ada darah yang tercecer. Tak ada….Tak ada….. 

Lonceng berdentang acapkali fajar membuka Minggu. Bedug bertalu, menggema setiap menanda waktu orang-orang membasuh muka-muka yang berdebu. Doa-doa menghening, syahdu.

Kota kami tidak dipimpin oleh seorang berbadan tegap penuh wibawa, tentara, politisi, pengusaha, atau artis. Kota kami dipimpin oleh seorang pria pengembara berbadan kurus, pendek, juga hitam kulitnya. Kota kami dipimpin seseorang dengan wajah yang selalu ditutupi oleh caping. Terkadang bertopeng putih polos. Dari bisik warga, beliau tak berani menampakkan wajahnya lantaran ada bekas luka di wajahnya kala kota ini dilanda wabah penyakit. Tapi ada pula yang bercerita jika wajahnya rusak karena dihantam halilintar dan pedang ketika kota ini diserbu pasukan manusia harimau.

Pemimpin kami, hingga kini masih berdiam di pertapaannya meskipun pasukan kuda bersayap semakin memperlihatkan runcing kemarahannya. Tiupan seruling kami tak mempan lagi menghembuskan kabut perdamaian. Dari dalam gua pertapaannya, pemimpin kami tak jarang menyerukan perang, tapi tak jarang kami sering menghadapi mereka sendiri. Tanpa aba-aba darinya. Berbagai alasan melontar kala ia menyatakan tak ikut berperang. Konon pemimpin kami membiarkan pasukan kuda bersayap itu mulai meransek ke kota kami, mengawini gadis-gadis, mengajak para penganggur untuk ditahbiskan menjadi pasukan kuda bersayap tembaga. Generasi kami mulai hilang.

Mantera sakti dukun tak mampu mencegah mereka. Satu persatu, kami bangsa bertangiskan kabut semakin hilang. Mungkin tak lama lagi, kami akan punah.

Kami tak lagi punya tempat merayakan upacara menangis dan mengumpulkan jutaan butiran kabut untuk pagi yang berserabut putih dan malam-malam yang berkilauan bintang gemintang. Selendang putih tangis kami kerap mengalungi rembulan kala purnama. Kami tak lagi punya genta yang menebarkan gaung perdamaian.
“Pemimpin, jumlah mereka semakin bertambah!”
“Mereka mengancam kami!”
“Iya, bahkan menculik kami. Satu persatu.”
“Dengan gendam.”
“Mereka mencuci otak kami.”
“Jika dibiarkan, kita semua akan punah.”
“Kita akan mati.”
“Kita akan hidup tapi mati.”
“Kosong.”
“Koma.”
“Sengsara.”
Kami hanya bisa meratapi tangis kesakitan pepohonan ketika gergaji-gergaji mesin mereka memotong-motong tubuh mereka. Kami hanya bisa menangis kala lumpur, dan lahar  memuntah. Hingga kabut di kelopak mata kami mulai menguap. Hingga bola mata kami berdarah, pemimpin kami baru mau keluar dari pertapaannya. Giginya bergemerutuk. Tangannya mengepal. Nafasnya memburu, meski berusaha meredam gemuruh dalam dadanya.
“Bukankah dulu, kami yang menyanjungmu?”
“Dengan tarian, nyanyian, bahkan menjadikan Pemimpin juga seorang biduan yang berakhlak mulia?”
“Bukankah kami yang menyembuhkan luka pemimpin dengan kabut yang menetes dari mata kami?”

Pemimpin kami menangis. Kemudian meminta kami untuk berkumpul merapat karena langit mulai dipenuhi gerumbul awan hitam. Petir seperti meretakkannya. Hujan serupa anak panah kristal, kemudian memecah ketika menjatuhkan diri ke tanah-tanah kering. Gunung-gunung mulai berguncang, bergemuruh. Langit kembali terbelah. Pasukan kuda bersayap dari atas sudah bersorak sorai melantunkan himne peperangan. Juga anak-anak dengan tubuh legam terbakar matahari. Mereka ada lagi pasukan kuda bersayap itu. Muka mereka tak lagi ramah seperti yang kami kira ketika pertama membuka topeng baja, dan turun dari kuda bersayap tembaga. Alis mereka meruncing, pun matanya menyipit licik. Ada dua cula mulai tumbuh di kepalanya. Cekung pipinya, keriput kulit wajahnya. Menghitam pula giginya berbanjir lendir-lendir amis. Kedua mata mereka memerak.

Pemimpin kami terpejam. Menghadap kami yang berkerumun terkepung. Kedua bola hitam di matanya lenyap, lalu memerah bara. Setelah menghela nafas, mulut pemimpin kami hanya bergumam, seolah membiarkan mereka menangkap kami lalu memaksa kami pergi dari lembah ini. Mengusir kami dengan kasar ke arah puncak-puncak gunung yang mengelilingi kota kami. Gunung yang dihuni seribu satu arwah orang-orang mati.
“Ini tanah kami!” teriak kami bersahutan.
“Ini rumah kami!!” seru kami seraya mengacungkan tangan, dan bendera putih perdamaian.
Mereka tak menggubris. Meski suara kami seperti lolongan anjing yang memrotes keadaan.

Kami berkemah di puncak-puncak bukit. Langit kembali menutup. Dari atas bukit ini kami bisa menyaksikan mereka mabuk oleh kemenangan. Mereka berpesta mengelilingi penari seronok yang selama ini mereka kecam kemudian mencium segepok uang dari tangan pemimpin kami yang tiba-tiba saja menghilang serupa air yang menguap cepat. Aku jadi heran, ternyata pasukan bertopeng baja yang memaksa langit menyediakan tempat tinggalnya itu masih mau disuap. Padahal selama ini aku berfikir, mereka hanya butuh langit. Tak butuh uang. Selalu mereka berbaris seraya menghentak-hentakkan tanah.

Kami membiarkan mereka bersorak-sorai hingga tak sadar bendungan di setiap bukit yang mengelilingi lembah itu mulai retak, jebol lantaran tak kuasa menahan gelombang samudera yang mengepung lembah itu. Lagipula tangis kami tak lagi sanggup menghalaunya. Kelopak mata kami terlalu letih dan sakit karena kadung menjadi darah. Gemuruh semakin dekat. Pasukan bertopeng baja mulai panik. Kuda-kuda bersayap tembaga terbang seketika untuk kembali pulang kepada langit yang mulai terbelah. Meninggalkan pasukan bertopeng baja yang merayakan kemenangan. Kemenangan mengusir kami dari tanah yang sejuk seperti bekas telapak kaki orang-orang suci. Langit hitam pekat berkalungkan gerumbul-gerumbul hitam yang berkali-kali terbelah halilintar. Pasukan bertopengkan baja itu hanya bisa berteriak meminta tolong dengan kata-kata yang tak kami mengerti. Entahlah apa itu?

Solo, 27 Desember 2010   
Abednego Afriadi lahir di Solo. Pernah aktif di teater. Cerpennya pernah dimuat di Jawa Pos, Koran Sindo, Kedaulatan Rakyat, Sinar Harapan, Merapi, Joglosemar, Solopos, Majalah Gong. Kini tinggal di Grogol, Sukoharjo
  

1 Response to "Gerombolan Pengusir"

wdcfawqafwef