Teste Teste Teste

Kidung Liturgi


Listrik padam. Gulita yang menyekap mata memaksaku panik mencari korek api, lampu sentolop atau LCD handphone. Zefanya, anakku malah menangis ketakutan. Kerlip pohon terang tak lagi menggiring khayalanku tentang Sinterklas yang turun membagi-bagikan hadiah.

Tinggal sebatang lilin kupegang untuk mencari handphone. Setelah ketemu, kubiarkan saja tergeletak di atas meja tulis. Menyusul kemudian dering tanda pesan masuk berulangkali. Semua pesan tertulis Selamat Natal dan Tahun Baru. Kubiarkan saja dering itu berulang-ulang, karena aku harus membantu Raras, isteriku menenangkan Zefanya yang terus menangis dalam gendongannya. Perlahan tangisnya seperti dibungkam remang cahaya lilin. Matanya kulihat sebening butiran hujan yang jatuh di atas bunga-bunga halaman rumah. Aroma minyak penghangat bayi di tubuhnya menahanku untuk tidak meninggalkannya berdua bersama Raras. Tapi redaktur menyuruhku memotret Misa Malam Natal ini untuk stock foto feature edisi akhir tahun.
“Ajak sebentar, Mas! Seharian ia mencarimu terus!” tukas Raras begitu tahu aku menutup kancing jaket. “Mungkin ingin melihat hujan?”
Kugendong lagi Zefanya hanya untuk melihat hujan dari jendela yang masih terbuka kordennya. Barisan butiran air yang terbias beberapa cahaya lilin yang kami pasang di rumah serupa kristal yang terjun menghias malam.
***
Sejak menikah, aku tak pernah mengikuti Misa Malam Natal. Sudah dua kali ini, setiap akhir Desember, Natal memaksaku untuk tidak berkumpul bersama keluarga. Natal adalah upacaraku bersetubuh dengan hujan, peristiwa dan kamera. Namun malam ini aku harus menyisakan waktuku, barang sebentar saja untuk menatap hujan. Jika tahun lalu pohon terang berhiaskan kerlap-kerlip lampu seperti memaksaku untuk tetap tinggal di rumah, tapi malam ini giliran delapan batang lilin enggan meredupkan nyalanya untukku.
Satu jam lagi misa berlangsung, aku lekas berangkat, namun telepon berdering. Raras buru-buru mengangkatnya.
“Ada telepon dari Bibi!” kata Raras.
“Ada apa?”
“Bibi tidak ada yang mengantar ke gereja, Iskak tak bisa pulang malam ini. Rumahnya kebanjiran! Banyak pesawat batal berangkat, cuaca buruk.”
“Jadi?”
Dengan mengendarai mobil tua peninggalan ayah, kami pergi ke rumah Bibi.
Jalan-jalan basah. Traficlight perempatan Warungpelem menyalakan merah. Anak-anak kecil menyiramkan air berbusa dari botol minuman bekas ke kaca mobil, lalu mengelapnya dengan kain gombal. Begitu lampu hijau menyala, kuberi mereka lima ratus rupiah. Hujan mulai reda. Zefanya berbinar matanya menatap pijaran lampu-lampu di sepanjang jalan yang serupa butiran emas kekuning-kuningan yang jatuh dari langit.
***
Sejak Iskak menikah, Bibi selalu melewatkan Natal sendiri. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan Iskak tinggal di Jakarta bersama isterinya. Karir dan pekerjannya tidak bisa dipaksakan untuk hidup serumah dengan Bibi di Solo. Malam ini Bibi tak berani berangkat sendiri. Semakin bertambah umur, rasa takut itu serupa hantu gentayangan dalam tempurung kepalanya. Jika berangkat sendiri naik taksi, takut dirampok, kecelakaan, atau ditipu dengan argo tarif yang melambung. Jika berangkat naik ojek, takut dirampok tukang ojek. Jika naik bus, angkutan kota, tak ada yang beroperasi malam-malam begini.

Seingatku Bibi memang sering bertengkar dengan ibu. Bibi kerap kali membuat ibu menangis karena sering curang dalam bisnis keluarga. Dan Bibi baru menyesali semua yang dilakukannya, saat ibu meninggal dunia. Sejak ibu meninggal, Bibi juga sudah tidak lagi memelihara seorang lelaki muda yang tak jelas asal-usulnya ; yang sering meminta uang saku untuk berjudi dengan hasil pembagian warisan almarhum kakek.

Kata paman-pamanku pula, semasa muda Bibi selalu memilih laki-laki yang kurang tepat, seperti buronan, pecandu narkoba, pengangguran, anak agen perjudian, pemalsu minuman impor, anggota organisasi terlarang. Ah ada saja status laki-laki pilihannya yang membuat seluruh keluarga terbelalak begitu mendengarnya. Kini ada perubahan drastis pada diri Bibi. Mungkin semua itu dilakukan untuk membalas kesalahannya kepada Ibu. Mungkin juga semua itu dilakukan karena sadar akan kehidupan yang sementara. Sekarang ia aktif dalam perkumpulan kaum wanita di gereja. Sudah ada kemajuan, pikirku. Bahkan ingin membalas kesalahannya kepada Iskak yang pergi dari rumah lantaran malu dengan Bibi yang sering memelihara lelaki muda, dan terlalu banyak hutang.
Aku mengetahui itu semua juga dari Iskak sendiri yang sempat bererita kepadaku.
”Di mana kusembunyikan mukaku? Tetangga, teman-temanku, pacarku tahu semua tentang Ibu,” katanya. Nafasnya berhembus cepat, menahan emosi. ”Perlu kamu tahu, Bapak terkena stroke, lalu meninggal karena tahu hutang ibu yang menumpuk begitu besar, dan kiosnya di Pasar Klewer harus dijual untuk menutup semua hutang-hutangnya. Sejak saat itu kami hanya mengandalkan pensiunan Bapak. Jadi kalian jangan hanya menyalahkan aku jika Ibu selalu menangis.”
Alasan Iskak cukup kuat menahanku nasehatku agar membatalkan niatnya memenuhi panggilan kerjanya ke Jakarta. Namun aku sedikit tidak terima lantaran kesalahan Bibi di masalalunya dijadikan alasan untuk tidak memberinya perhatian setelah menikah. Menurutku, Bibi tidak hanya butuh uang kiriman perbulan. Bagaimana pun, Bibi adalah orang tua kami satu-satunya. Ayah menyusul kepergian ibu setahun kemudian. Sedangkan kedua mertuaku juga belum pernah aku temui sejak awal perkenalanku dengan Raras. Mungkin saat ini mereka duduk berjajar di kereta awan-awan bersama para malaikat menebarkan rintikan hujan.

Malam ini kuajak Bibi misa bersama Raras, dan Zefanya. Meski hujan kian berahi dengan malam, membasah kuyup Gereja Santo Antionius yang dijejali jemaat. Sekalian kutekan tombol-tombol camera merekam segala lukisan syahdu di antara lantunan kidung yang menyayap langit malam itu.
Irama Malam Kudus, Alam Raya, Gloria, dan Dari Pulau dan Benua meliris segurat kenangan masa kecil. Kutemui di antara silau bias lilin pada lensa, ayah, dan ibu kusuk menerima kumini. Ingatanku serasa diputar ulang menuju lorong masa dua puluh tahun lalu. Bersama ayah dan ibu, setiap Minggu kami mengikuti liturgi yang dipimpin oleh Romo Smith. Setelah ingatanku kembali, kedua sosok yang malam ini kurindukan, hilang dalam satu kedipan mata. Sunyi kian mengguyur malam. Hanya kerut serupa anak sungai wajah Bibi yang sepertinya ingin mencabut kebenciannya kepada Iskak dan menantu yang bukan pilihannya. Kepada Raras Bibi sering mengaku cemburu karena merasa Iskak lebih mementingkan isterinya.

Dengan tinggal masih sekota dengan Bibi, setidaknya menjadikannya sebagai pengganti ibuku. Demikian pula aku menjadi pengganti Iskak. Namun Bibi masih tidak mau tinggal serumah dengan kami. Bibi merasa lebih damai dan bahagia bersama para janda di kampungnya yang mengajaknya aktif di paroki wilayah.

Hujan belum juga berhenti menyepuh rindu malam-malam yang maha sunyi. Menjelma barisan butir-butir air yang terus memburu mesbah-mesbah doa dalam batinku. Mata-mata terpejam. Handphone bergetar dikantong celana bagian kanan. Aku terpaksa keluar dari gedung gereja, lalu berteduh di bawah pohon kamboja untuk mendengarkan panggilan. Kulihat di layar LCD, nomor telepon berkode area Jakarta memanggil
”Halo...............”
................
Aku diam sejenak setelah isteri Iskak menutup pembicaraan. Kecipak air jatuh seirama dengan detak jantungku yang kian memburu. Kucoba menengok Bibi yang tetap terpejam sembari mengulum senyum dalam setiap liturgi doa-doa. Terlalu kejam jika aku memecahkan senyumnya malam ini. Terlalu keji jika aku siram kabar sedih di mesbah doanya yang hening.

Mungkin malam ini aku harus segera ke Jakarta setelah file foto aku kirim ke alamat redaksi lewat email. Raras hanya mengangguk pelan saat kubisiki telinganya tentang kabar ini. Setitik hujan meleleh dari kelopak matanya yang perlahan terpejam menggendong Zefanya yang pulas tertidur. Kemudian air mata itu jatuh membasahi selembar kidung liturgi. Dadaku berdesir, hal yang kutakutkan malah terjadi. Bibi sempat menoleh ke arah Raras.
”Ada apa? Kamu menangis?”
Raras menggelengkan kepala, lalu pura-pura menguap.
”Ngantuk, Bi,” jawabnya.
”Permen?”
Raras seperti terpaksa menerimanya, supaya tidak curiga.
Liturgi pun berjalan mengalir. Kupikir sudah saatnya aku harus meninggalkan ibadah sebab Bibi sudah konsentrasi lagi dengan kidung-kidung pujian yang menghanyutkan. Sekali lagi, aku tak ingin senyum Bibi dirusak oleh kabar ini. Iskak kritis karena lemah jantungnya. Di Jakarta, isterinya tidak sanggup merawatnya sendirian. Mungkin setelah kesehatan Iskak pulih, aku harus kembali ke Solo, kemudian memberi tahu Bibi, dan mengajaknya ke Jakarta. Semoga setiba di Jakarta lain hari, Bibi bisa rukun kembali dengan menantunya, dan Iskak memaafkan segala kesalahan di masa lalunya.
Tahun ini, kali ketiga aku tidak mengikuti Misa Natal. Kali ketiga ini aku tidak kuyup dalam liturgi gereja. Biarkan sampai pagi kuikuti saja liturgi hujan dari bingkai jendela gerbong kereta dari Stasiun Balapan sampai Gambir. Semoga melalui jendela kereta ini, beberapa malaikat memberi kabar padaku, bahwa Iskak segera sembuh.

Nyanyian Malam Kudus, dan Betlehem Kota Kecil sayup-sayup masih terngiang tanpa henti.
Dengarlah di Efrata malaikat memuji.....
Nyanyian itu, lembut, memecah bising deru roda kereta yang menggilas rel tanpa henti. Hujan masih turun.
Jakarta-Solo,September 2007
(Seputar Indonesia, 28 Desember 2008)

0 Response to "Kidung Liturgi"

Post a Comment

wdcfawqafwef