“Pergi kamu!”
Mbah Sudrun menatap sinis sosok tinggi besar pembawa cambuk di sudut kegelapan, yang merah bola matanya. Mbah Sudrun memaksakan diri untuk berani menantangnya karena tak ingin siksaan itu menimpa dirinya.
Mbah Sudrun menatap sinis sosok tinggi besar pembawa cambuk di sudut kegelapan, yang merah bola matanya. Mbah Sudrun memaksakan diri untuk berani menantangnya karena tak ingin siksaan itu menimpa dirinya.
“Tidak bisa, ini sudah menjadi tugasku!”
”Tugasku juga belum selesai,” sahut Mbah Sudrun, kemudian
dengan susah payah mencoba keluar dari gundukan tanah basah yang kurang lebih
12 jam menguburnya. Keringat yang mengaliri tubuhnya terasa asin saat merasuki
mulutnya yang keriput. Kain pocong yang masih mengikat tubuhnya membuatnya
kesulitan untuk keluar dari liang kubur.
Namun, situasi sulit bukan hal yang baru baginya. Semasa
masih muda, ia biasa bersembunyi di balik lumpur-lumpur untuk menyerang pasukan
Van Bengkok. Bahkan ia sering mengeluarkan jurus ambles bumi untuk menjebak
tentara kompeni. Tapi perjuangannya tidak membuahkan penghormatan dan
penghargaan, sejak Mbah Sardi memfitnahnya pernah bergabung dengan Barisan
Pinggir. Padahal ia tidak tahu menahu tentang kelompok itu.
Gundukan tanah yang berat, basah dan merekat berhasil
dibongkarnya. Dua mahasiswa KKN yang sedang asyik di kuburan itu sontak
terperanjat. Si mahasiswa terbirit-birit meninggalkan pacarnya sendirian,
sedangkan seorang mahasiswi perempuan ketakutan sambil menutupi tubuhnya dengan
jas almamater. Kemudian pingsan lantaran melihat Mbah Sudrun yang masih
mengenakan kain pocong meloncat-loncat keluar dari permakaman.
Kedatangan Mbah Sudrun tak pelak membuat Kampung
Ngasemtenan geger. Pemabuk yang memenuhi pos ronda lari terkencing-kencing,
memanjat pohon kelapa, dan pingsan. Bahkan ada yang langsung melepas baju dan
celana karena percaya hal tersebut dapat mengusir setan. Hanya seorang yang berani
mengajaknya berkelahi. Ia adalah Narto Srampang, salah satu murid Perguruan
Beladiri Pernapasan Sayap Cinta Sejati.
”Pergilah ke asalmu!”
”Pergilah sendiri!” sahut Mbah Sudrun.
”Pergilah sendiri!” sahut Mbah Sudrun.
Mbah Sudrun tak menghiraukan pemuda itu. Kemudian
berjalan cepat ke rumahnya, seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Di
rumah Mbah Sudrun, Pak Lurah sudah berada di antara para sesepuh, perangkat
desa, RT dan RW. Mereka menghitung satu persatu jasa-jasa Mbah Sudrun terhadap
kampung semasa masih hidup.
”Ingat! Mbah Sudrun lah yang mengusulkan nama kampung
ini. Nama Ngasemtenan itu karena segala makanan yang ada di kampung ini, asam
rasanya. Kebetulan semasa penduduk belum sebanyak ini, masih dijumpai barisan
pohon-pohon asam raksasa. Semua warga di kampung ini juga asam bau badannya,
meskipun sudah pakai minyak wangi!” kata Pak Lurah.
”Betul, karena itulah banyak turis-turis yang berdatangan
ingin merasakan segala yang asam di kampung ini. Warsiyah, Sartiyah, Jumino,
dan Kuntadi malah menikah dengan turis bule,” sahut Pak Carik.
”Karena jasa-jasanya itulah kita perlu memberikan
penghormatan kepada almarhum!”
Pak RW tiba-tiba menunjukkan jari dan memberi usul. ”Menurut saya, Mbah Sudrun tidak mungkin marah kalau tidak diberi penghormatan, lha wong beliau sudah mati! Mau apa lagi”
Pak RW tiba-tiba menunjukkan jari dan memberi usul. ”Menurut saya, Mbah Sudrun tidak mungkin marah kalau tidak diberi penghormatan, lha wong beliau sudah mati! Mau apa lagi”
”Hus! Lambemu bisa diatur tidak! Dengan orang yang sudah
meninggal mbok jangan begitu!”
”Weleh, beliau itu sekarang sedang pusing mikir, apakah
dia nanti masuk surga, atau neraka! Kok malah kita yang pusing!”
”Bagaimana kalau kita dirikan monumen Mbah Sudrun,
sebagai pahlawan bagi kampung ini! Piye? ini memiliki selera seni yang tinggi!”
”Dan itu didirikan di perempatan gang bernama gang Mbah
Sudrun.”
”Cocok sekali!”
”Apanya yang cocok?” sahut Mbah Sudrun tiba-tiba di depan
pintu. Tak ayal semua yang rapat malam itu ketakutan. Karena masih mengenakan
kain pocong yang kotor oleh tanah, Pak RT kumat jantungnya, lalu tersungkur,
Pak RW lari meninggalkan rumah joglo berdinding kayu jati tersebut sambil
terkencing-kencing. Pak Carik perutnya langsung sakit dan berlari ke WC.
Namun Pak Lurah, Pak Basri dan Pak Samun tetap tinggal di rumah itu. Bahkan Pak Lurah segera melepas baju dan celananya karena percaya bahwa apa yang dilakukannya dapat mengusir setan.
Namun Pak Lurah, Pak Basri dan Pak Samun tetap tinggal di rumah itu. Bahkan Pak Lurah segera melepas baju dan celananya karena percaya bahwa apa yang dilakukannya dapat mengusir setan.
”Sejak dulu aku tidak pernah diberi gelar pahlawan! Di
surga gelar sudah menantiku!” seru Mbah Sudrun. ”Pakai pakaianmu! Lurah kok
nggilani!”
Pak Lurah lekas kembali mengenakan celana dan kemeja batiknya.
Pak Lurah lekas kembali mengenakan celana dan kemeja batiknya.
”Pembicaraan kalian membuat tidurku tidak tenang! Ayo,
makamkan aku sekarang!”
Mendengar permintaannya, Pak Lurah, Pak Basri dan Pak Samun saling pandang dan bingung sendiri. Mereka membisu beberapa saat.
Mendengar permintaannya, Pak Lurah, Pak Basri dan Pak Samun saling pandang dan bingung sendiri. Mereka membisu beberapa saat.
”Ayo, tunggu apalagi? Tubuhku keburu busuk!!” bentak Mbah
Sudrun.
Akhirnya mereka menuruti permintaannya. Upacara pemberangkatan jenazah dilakukan seadanya.
Akhirnya mereka menuruti permintaannya. Upacara pemberangkatan jenazah dilakukan seadanya.
Sementara Kampung Ngasemtenan terasa begitu sunyi, lain
dari malam yang sudah-sudah. Gardu perempatan jalan juga ditinggalkan para
peronda dan pemabuk. Orang-orang terlelap, hanyut dalam siaran wayang radio
yang berjudul Bhisma Gugur.
(Solopos, 2 Maret 2008)
0 Response to "Kebangkitan Mbah Sudrun"
Post a Comment